Rabu, 06 Desember 2017

Budaya Tradisi dalam Sistem Mata Pencaharian (bagian I)

Tulus S *

Anenggih pundi ta nagri ingkang pinurweng carita samangke, ingkang kaeka adi dasa purwa, eka marang sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan. Adi-adining garba gupita datan wonten kadi nagri ing Dwarawati, nagri ingkang panjang punjung pasir wukir loh jinawi, gemah ripah karta tur raharja. Panjang marang adawa, punjung iku luhur, basa pasir ngarepake samudra, wukir ngungkurake gunung.
Basa jinawi toya tumumpang, loh tulus kang sarwa tinandur murah kang sarwa tinumbas,agemah saha ripah; basa gemah kathah janma dagang datan kendhat, elur tan ana pedhote, basa ripah kathah janma ingkang gegriya aneng nagri, pratandha eca manahe kawula alit. Kebo, sapi, bebek, ayam datan wonten kinandhangan, teka aglar mungguwing pangonan, saking harjaning nagri; dora, cara, sirna ajrih wilalating narendra...

Di atas merupakan sebuah janturan pada adegan pertama di sebuah negara pada pagelaran wayang kulit. Terlihat adanya sebuah gambaran tentang keadaan negara yang serba kecukupan dan ayem tentrem yang membuat rakyat kecil menjadi senang. Dalam janturan tersebut telah menyinggung hal yang terkait dengan sistem mata pencaharian masyarakat dalam cerita tersebut. Basa jinawi, toya tumumpang, loh tulus kang sarwa tinandur merupakan sebuah gambaran kesuburan tanah dan keberhasilan para petani dalam menggarap lahannya. Murah kang sarwa tinumbas, agemah saha ripah, basa gemah kathah janma kang datan kendhat; elur tan ana pedhote, hal ini menggambarakan sistem perekonomian yang sedang berjalan. Pratandha eca manahe kawula alit, kebo, sapi, bebek, ayam datan wonten kinandhangan, teka aglar mungguwing pangonan, merupakan gambaran kesejahteraan masyarakat kecil dan segi keamanan. Memang dalam janturan tersebut tidak menyinggung secara spesifik tentang perikanan (kelautan). Namun sebagai negara besar bisa dilihat dari kalimat ; basa pasir ngarepake samodra, wukir ngungkurake gunung… dengan begitu secara jelas hal kelautan dan pegunungan sangat menentukan dalam kesejahteraan dan keutuhan kerajaan tersebut.

Secera geografis wilayah Jawa memang terkenal dengan kesuburannya (loh) sehingga bidang pertanian di Jawa sangatlah menonjol. Dengan begitu secara mayoritas masyarakat Jawa mata pencahariannya sebagai petani.

I. Upacara Adat Pemeliharaan Padi

Untuk pemenuhan pangan masyarakat  Desa Banjarsari, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun mempunyai tradisi-tradisi yang unik. Diawali waktu persiapan penanaman padi sampai panen padi. Walaupun tradisi-tradisi tersebut sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi. Penulis masih ingat sekali sekitar tahun 1980-an tradisi memetri pari (memuliakan padi) masih banyak dilaksanakan oleh warga setempat. Sebenarnya upacara tradisi memetri pari merupakan implementasi dari tiga fase perkembangan budaya Jawa, mulai dari fase mistis, mistis religious dan fase rasional religious. Adapun ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat Desa Banjarsari, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut;

a. Ritual nyebar (menabur benih padi)
Waktu dulu masyarakat Desa Banjarsari masih kental dengan sebuah budaya tradisi. Dalam melakukan apapun juga maka dibarengi dengan sebuah upacara selamatan. Dengan maksud agar apa yang dilakukan nanti akan membawa berkah dan manfaat serta terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Termasuk pada waktu membuat persemaian benih padi. Upacara ini dilakukan setelah benih padi yang direndam dalam air mulai tumbuh (berkecambah) kemudian disebar di petak persemaian.

Hal ini yang dinamakan nyebar (menabur benih). Agar dalam penaburan benih menjadi cukup dan rata (babar) maka masyarakat membuat sesaji berupa makanan yang dinamakan horog-horog. Makanan tersebut terbuat dari tepung beras ,gula dan sedikit garam  yang diberi pewarna merah (bila menggunakan zat pewarna) atau dibuat warna coklat (bila menggunakan pemanis gula jawa). Kemudian setelah semua adonan selesai dikukus sampai matang. Setelah adonan itu matang ditiriskan pada sebuah loyang yang besar (tampah) agar cepat dingin dan tidak menggumpal. Pada akhirnya jadilah sebuah makanan yang sedap menyerupai kue putu namun babar (tidak membentuk gumpalan) atau hampir menyerupai pasir basah.

Pada umumnya kue tersebut dilengkapi dengan nasi ketan dan ditaburi kelapa parut sehingga akan menambah rasa yang begitu nikmat dan dibungkus daun pisang. Berkaitan dengan upacara tradisi nyebar winih (menebar benih), sesaji tersebut diperuntukkan dalam selamatan dengan mengundang para tetangga dekat. Setelalah didoakan maka sesaji tersabut dibagikan kepada seluruh yang hadir. Sebagian kecil dibawa kesawah untuk disebar pada petak pembenihan padi atau dibungkus daun pisang dan diletakkan di dekat persemaian.

Horog-horog yang dibarengi dengan ketan juga kelapa parut merupakan sebuah simbol dari awal sebuah kehidupan dan kemakmuran. Ketan berwarna putih yang diberi kelapa parut sebuah simbol  dari laki-laki dengan spermanya, sedang horog-horog yang berwarna merah berasal dari wanita.
Ketan yang ditaburi dengan kelapa parut sebuah harapan agar padi yang direndam dalam air bisa tumbuh (berkecambah) dengan baik. dan setelah ditabur pada persemaian akan menjadi tanaman yang sehat serta tumbuh banyak sehingga akan cukup atau rata jika ditanam oleh petani. Disayangkan tradisi semacam ini sekarang sudah tidak bisa saksikan lagi. Seakan semua punah ditelan bumi.

b. Wiwit
Wiwit merupakan sebuah tradisi waktu mengawali tanam padi. Upacara ini diawali dengan melakukan selamatan panggang buceng (beserta sayuran urap seperti; kecambah/gantheng, kangkung, kacang panjang  atau dedaunan lainnya, ikan teri juga sambal urap). Setelah itu dilakukan peletakan cok bakal di pojok petak sawah sebagai tandha awal penanaman padi. Cok bakal adalah takir (tempat seperti mangkok persegi empat yang terbuat dari daun pisang) yang berisikan telur ayam, gantal (gulungan daun sirih), bunga telon kadang juga kemenyan, uang logam, kemiri, lombok abang, brambang, bawang dan jenang abang putih yang dibungkus daun pisang berbentuk kerucut (conthong).  Pada masa sekarang upacara wiwit sebagian banyak masyarakat petani masih melaksanakannya namun selamatan dengan menggunakan tumpeng (buceng) dan ayam panggang beserta lauk-pauknya telah ditinggalkan.

Upacara tradisi semacam ini dengan menampilkan berbagai sesaji sebagai sebuah simbol keinginan atau harapan  manusia. Hal ini  merupakan sebuah perlikau mistik kejawen dalam masyarakat Jawa.  Selamatan sering diasumsikan bertujuan menjaga hubungan yang baik antara manusia, Sang Pencipta maupun dunia luar (alam roh). Dengan begitu  harapan untuk mendapat keselamatan, menjaga kedamaian akan terpenuhi. Pada akhirnya manusia Jawa akan merasakan hidup yang ayem tentrem.

Simbol daripada cok bakal adalah permulaan, ini tergambar dalam ubarampe yang terdapat di dalamnya. Telur ayam (endhog pitik ) yang menggambarkan bibit kawit (awal permulaan kehidupan), karena awal kehidupan ditandai dengan terbentuknya telur. Jenang abang dan jenang putih di dalam conthong (kerucut) merupakan lambang perpaduan antara darah pria (putih;sperma) dan darah wanita (merah) sebagai kesatuan awal dari terjadinya kehidupan. Conthong yang berbenuk kerucut adalah sebuah simbol tujuan ke atas (Tuhan).

Pada dasarnya segala kehidupan di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Uang logam menggambarkan nilai sebuah materi. Manusia hidup di dunia tidak  akan bisa lepas dari materi. Kebutuhan materi juga sangat menunjang berlangsungnya sebuah kehidupan sosial di antara masyarakat. Kembang telon yang terdiri dari bunga mawar, melati dan kanthil sebagai ungkapan harapan dalam niat melakukan pekerjaan. Arti daripada kembang telon tersebut adalah kalamun binabar (mawar) tembung kang manis lumantar kedhaling lathi (melati) minangka pambukaning karyatama kang tansah kumanthil-kanthil (kantil) ing tung-tunging nala (apabila sesuatu  diucapan dengan baik sebagai bentuk niatan dalam menjalankan perbuatan luhur maka akan terasa/menyentuh di dalam hati yang sangat dalam). Kemenyan merupakan simbol keharuman dengan maksud apa yang telah dikerjakan akan mendapat sesuatu yang baik.

Kemiri adalah sebuah biji-bijian yang mempunyai kulit yang keras. Hal itu merupakan sebuah gambaran betapa sulitnya sebuah ngelmu itu. Tetapi sesulit apapun sebuah ngelmu memang harus bisa dipecahkan. Ngelmu di dalam persepektif Jawa bisa didapatkan dengan cara lelaku. Lelaku dijalankan dengan cara puasa, bertapa dan yang lainnya. Sebagaimana tertera pada  Serat Wedatama karya Mangkunegoro IV dalam tembang pucung sebagai berikut; ngelmu iku-lelakone kanthi laku- lekase lawan kas -tegese kas nyantosani-setya budha pangekesing durangkara. Dalam tembang tersebut dijelaskan bahwa  sesuatu itu tidak hanya berteori saja namun harus dijalankan /dikerjakan agar sampai pada tujuannya. Dibarengi dengan keteguhan hati/sungguh-sungguh akan mendapatkan sebuah kekuatan (santosa).

Dengan begitu niat yang luhur itu akan bisa menghalau atau memberantas keangkaramurkaan. Lombok abang dan bawang biasanya digunakan sebagai tolak balak. Abang (merah) sebagi simbol keberanian, bawang (buwang; membuang), dimaksud adalah mempunyai keberanian untuk membuang kesialan. Brambang (bawang merah) mempunyai arti ditimbang; dipertimbangkan; dipikir lebih dalam. Daun suruh berarti weruha; weruhana = ketahuilah,  bisa juga berarti kawruh (ilmu). Sedangkan takir adalah supaya ditata lan dipikir. Ditata (diatur) rasanya dan dipikir dengan nalar yang baik, cara ini dalam budaya Jawa disebut menggalih. Berpikir menggalih ini dimungkinkan oleh rasa sejati atau rasa budi. Sehingga di dalam filosofi Jawa tidak hanya berpikir secara benar saja namun ditekankan pada rasa pener atau leres. Dalam budaya Jawa bener dan pener merupakan kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Segala sesuatu tidak hanya ditafsirkan dan dinilai berdasarkan benarnya saja, tetapi juga pada nilai tepatnya (pener). Karena sesuatu yang bener belum tentu pener.

Djoko (2011;73) mengatakan bahwa sesuatu bener dan pener sekaligus disebut (wis) pas, gathuk/mathuk, cocog ,trep, atau mathis (sudah pas dan cocok). Dengan kata lain ke-mathuk-an atau ke-gathuk-an yang berisi ke-bener-an dan ke-pener-an menjadi kaidah filosofi segala sesuatu, misalnya formula (yang secara tersurat tampak paradoksal), misalnya ngono ya ngono ning aja ngono, luhur datan ngungkul-ungkuli andhap tan kena inungkulan, kang kena iwake aja kongsi butheg banyune, merupakan ekspresi kaidah ke-bener-an yang esensial (frasa ngono ya ngono, luhur datan ngungkul-ungkuli, kang kena iwake) dan kaidah ke-pener-an yang konstekstual ( yaitu ning mbok aja ngono, andhap tan kena inungkulan, aja kongsi butheg banyune). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai filosofi  Jawa merupakan nilai yang bersangkutan dengan keterikatan pada kebenaran dan ketepatan (ke-bener-an lan ke-pener-an) segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia Jawa untuk mencapai derajat keselamatan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan.

Maksud dari simbol –simbol di atas jika dikaitkan satu dengan lain kurang lebih berikut; agar sesuatu itu dipikir (takir) dan ditata dengan pertimbangan yang dalam (brambang) agar dapat diketahui (weruh;suruh) atau mendapatkan ilmu (kawruh). Walaupun hal itu sangat sulit (kemiri) maka harus tetap dilakukan agar wewarah (ajaran;piwulang) yang disampaikan bisa dipahami. Dengan begitu kawruh (ilmu) awal terjadinya sebuah kehidupan (telur; bibit kawit) akan dimengerti. Setelah mengetahui maka segala tindakan yang akan dilakukan bisa dirasakan, dipikirkan dengan baik.

Pada dasarnya simbol-simbol tersebut mengajarkan tentang sangkane dumadi (asal kehidupan). Cok bakal sendiri ternyata tidak hanya dipakai untuk sesaji dalam upacara wiwit, tetapi juga banyak digunakan dalam upacara-upacara lainnya semisal; mendirikan rumah, sesaji orang punya hajat, pager-pager (memagari rumah secara spiritual) dan lain sebagainya.

Sedangkan selamatan tumpeng (buceng) , ayam panggang beserta lauk pauknya juga mempunyai maksud dan tujuan dari pelaku mistik kejawen. Buceng adalah kalbu kang kenceng (tekad yang kuat), agar manusia mempunyai sebuah keyakinan atau keimanan yang kuat. Juga dinamakan tumpeng yang berarti tumuju dalan kang lempeng (menuju jalan yang lurus/benar). Ayam panggang sebagai simbol kepasrahan diri pada Yang Maha Hidup juga sebuah nilai pengorbanan. Kecambah; gantheng; thokolan, melambangkan apa yang diharapkan bisa thukul (tumbuh; tercapai). Kacang panjang berarti berpikir secara panjang (ora cethek pikire; ora cethek nalare; tidak dangkal penalarannya), diberikan umur yang panjang. Kangkung sebagai simbol lebih (langkung) dalam arti diberi rejeki yang lebih. Maksud dari sesaji tumpengan tersebut bahwa apapun yang dilakukan harus didasari pada tekad yang kuat dan berjalan pada aturan yang benar serta berserah diri sepenuhnya pada Tuhan agar apa yang kita harapkan/cita-citakan akan tercapai.

Dalam Primbon Bekti Jamal (Tanoyo;..;101) telah ditulis tentang ujub (doa) sebelum menanam padi sebagai berikut; “Dhuh Bapa Akasa, Ibu Pratiwi, aku nitipke, apenana dibecik titipanku winih sawiji, wit tembaga, oyot kawat, godhong mirah, kembang sesotya, woh inten, siyat-siyut, pendhek isi, dawa isi, Sri Menthik, Sri kumpul, kumpul saka karsaning Allah.”

c. Jenang Sumsum dan Jenang Grendul
Jenang sumsum adalah jenang yang dibuat dari tepung beras dan dikasih sedikit garam. Cara penyajiannya kadang diberi juruh (sirup dari gula jawa). Sedangkan jenang grendul terbuat dari adonan tepung ketan yang dibentuk bulat-bulat (sebesar kelereng) kemudian direbus dengan menambahkan juruh (sirup dari gula kelapa) sehingga bila matang akan berwarna merah kecoklatan (seperti karamel). Kedua jenis jenang tersebut sebenarnya mempunyai makna yang tidak jauh dengan jenang abang dan jenang putih. Jenang sumsum (putih) dan jenang grendul (merah) pada umumnya disatukan dalam sebuah takir. Jenang grendul yang bentuknya bulat-bulat cenderung pada makna wiji dadi (sudah terbentuknya telur) pada rahim wanita. Pada umumnya masyarakat berkeyakinan bahwa dengan memakan jenang sumsum maka stamina tubuh akan pulih kembali (dalam hal ini dianggap mengembalikan tulang sumsum). Jenang sumsum juga dibuat apabila masyarakat Jawa sesusai melaksanakan hajatan besar, seperti mantu (melaksanakan hajatan perkawinan).

Masyarakat sering menambahkan irisan pisang atau irisan nangka pada jenang sumsum untuk menambah aroma, rasa dan selera makan. Kedua jenang tersebut diletakkan pada wadah takir kemudian diadakan selamatan dan didoakan. Setelah diberi doa sebagian takir yang berisi kedua jenang tersebut dibawa ke sawah untuk diletakan pada setiap pojok petak sawah. Upacara ini dilakukan setelah tanam padi selesai. Namun upacara semacam ini sekarang sudah tidak terlihat dilaksanakan lagi.

d. Tingkepan
Tidak hanya manusia Jawa saja,  apabila seorang wanita hamil kemudian diadakan upacara tingkepan. Tradisi di Desa Banjasari, Madiun dikala itu (sekitar tahun 1980) masih mengadakan upacara tingkepan terhadap padi yang bunting (meteng). Namun disayangkan sekarang upacara tradisi ini juga sudah tidak terlihat lagi.

Ciri khas pada upacara tradisi ini ditandai dengan sesaji berupa buah-buahan seperti kedondong yang dibelah-belah, jeruk pamelo yang juga dibelah-belah, langsep (semacam buah duku namun buahnya berwarna merah dan rasanya masam). Selain itu yang paling unik dibuat kue-kue khas dari tepung beras yang diberi berbagai macam warna kemudian dibentuk menyerupai ulat. Makanan seperti itu dikenal dengan nama uler-uleran (menyerepuai ulat). Adonan dari tepung beras setelah diberi sedikit garam dan gula juga warna yang diinginkan kemudian dibulatkan, didipihkan kemudian dicetak (digulung) pada pelepah pohon pisang yang dibelah. Setelah terbentuk seperti ulat kemudian dikukus dan ditiriskan. Biasanya penyajiannya ditambahkan kelapa parutan. Selain kedua sesaji tersebut (buah-buahan dan uler-uleran) juga tidak ketinggalan pala pendhem (ubi-ubian; singkong) juga ambengan berupa rasulan.

Ambengan rasulan ini berupa nasi putih beserta ingkung (ayam utuh yang dimasak seperti opor) dan lauk pauknya. Bertujuan untuk mengirim doa para roh leluhur juga Dewi Sri yang merupakan dewanya padi. Dinamakan rasulan karena mengacu pada nama Rasul, artinya agar mendapat safaat dari Rasulallah. Ingkung sebagai perwujudan penyerahan diri manusia kepada Tuhannya. Ingkung ; ingkang manekung (supaya bertakwa dengan khusuk ). Disini memang sangat jelas terjadinya sebuah alkuturasi budaya. Baik itu makna dalam bentuk sesaji maupun di dalam mendoakannya. Ingkung juga menggambarkan pengorbanan. Nilai pengorbanan manusia Jawa harus rila (ikhlas) dalam menerima segala takdir dan melakukan segala tindakan. Keihklasan itu diwujudkan dalam bentuk pengorbanan materi, pikiran dan tenaga untuk mencapai maksud daripada tujuan yang ingin dicapai. Pengorbanan yang didasari keihlasan lahir batin akan memberikan suasana batin untuk hidup damai, tenang, senang dan bahagia.

Manekung (ingkung;ingkang manekung) mirip dengan istilah sembah. Manekung adalah ritual yang khusyuk ketika pelaku agama Jawa berusaha kontak batin dengan Tuhan. Orang Jawa biasanya mengenal empat macam sembah yaitu sembah raga, sembah kalbu, sembah jiwa, dan sembah rahsa. Keempat sembah ini memiliki tataran berbeda terlebih lagi setelah menjalankan manekung. Manekung lebih kearah sembah secara pribadi. Dalam konteks ini antara manekung, sembah, dan semedi tidak perlu dibedakan secara prinsip. Ketiganya memiliki kesamaan, yaitu ada hubungan batin antara manusia dan Tuhan. (Endra;2012;152). Melalui manekung tersebut akan dicapai ketentraman batin manusia.

Buah-buahan yang berasa asam pada umumnya disukai oleh wanita yang hamil. Oleh sebab itu manusia Jawa menggambarkan bahwa padi yang sedang bunting (dianggap Dewi Sri yang telah hamil) sangat dihormati dan dilakukan upacara layaknya pada manusia. Asam dalam bahasa kawi disebut kamalagi, sedang pohon asam disebut kamal  (Wojowasito,..126). sedangkan dalam bahasa Arab kamal  berarti sempurna atau kesempurnaan (Herman;2012;74). Nilai kesempurnaan manusia Jawa adalah keselamatan. Kesempurnaan berarti wikan sangkan paran, mulih mulanira, manunggal, sebagai ciptaan kembali kepada sang Pencipta. Menurut Serat Jatimurti (1980;53) kesempurnaan berarti awas marang kang ngrasa,ora korup marang rasane, luwih-luwih marang kang dirasa (awas kepada yang empunya merasa, tulus bersih kepada perasaannya,lebih-lebih kepada yang dirasakan). Pengertian tersebut mengandung kesempurnaan sebagai manusia akan mengantarkan manusia Jawa menuju keselamatan.

Uler-uleran sebuah gambaran dari salah satu hama tanaman padi yaitu ulat. Masyarakat percaya bahwa dengan adanya simbol  uler-uleran tersebut akan menjadi tolak bala terhadap serangan hama yang merusak padi. Dalam kontek budaya Jawa uler (ulat) bisa dijabarkan pada tindakan yang hati-hati. Coba dilihat ulat yang sedang berjalan dengan pelan tapi pada akhirnya akan mencapai sebuah tujuan. Ada ungkapan Jawa gremet-gremet waton slamet (pelan-pelan asal selamat ). Sikap sabar; tidak grusa-grusu ; tidak nggege mangsa memang diperlukan dalam segala tindakan. Begitu pula para petani dalam menjaga tanaman padinya, begitu sabar, telaten dan penuh tanggung jawab. Dengan sikap kehati-hatiannya dan selalu bersabar maka nilai keselamatan akan didapat. Petani akan merasa hatinya tenang  (ayem) apabila padi yang ditanamnya bisa tumbuh sehat dan baik.

e. Ngubeng-ubengi
Ngubeng-ubengi berasal dari kata mubeng (mengitari; berkeliling). Di Karaton Jogjakarta ada upacara mubeng beteng setiap menyambut satu Suro. Tradisi ngubeng-ubengi pada masyarakat pedesaan ini dilaksanakan apabila padi sudah kelihatan menguning tanda akan segera panen. Biasanya kurang lebih satu minggu menjelang panen. Upacara ngubeng-ubengi dilakukan oleh seorang dukun (orang yang dianggap mumpuni tentang adat). Tradisi ini ditandai dengan membakar upet (seikat merang) yang diselipi kemenyan oleh seorang dukun kemudian dibawa mengelilingi sebanyak tiga kali pada  petak sawah yang akan dipanen .  Ada ungkapan Jawa damar mancung cinupet semene wae, berarti sebuah kesudahan; disudahi; sudah cukup. Simbol upet merupakan tanda bahwa padi sudah cukup atau sudah waktunya untuk dipanen.

Pembakaran kemenyan merupakan salah satu dari simbol-simbol ritual yang diaktulaisasikan oleh masyarakat Jawa, yang mengandung pengaruh asimilasi antara Hindhu-Jawa, Budha-Jawa dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultur mistik. Menurut K.H. M. Sholikin (2009;17)  pembakaran kemenyan pada ritual mistik oleh masyarakakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti dihadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan. Dijelaskan pula bahwa membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai “talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat Ingkang Maha Kuwawos” (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa).

Memperhatikan niat tersebut maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa atau memasukannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musryik, seperti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan, atau sebutlah kearab-araban. (Sholikin;2009;17).  Dijelaskan pula bahwa pada Zaman Nabi Ibrahim juga sudah ada kebiasaan membakar kemenyan. Untuk zaman Nabi Muhammad pembakaran kemenyan sering digantikan dengan mengenakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai “disukai oleh Allah”. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah.

f. Methil
Methil yang berarti metik; memetik merupakan tradisi memetik padi yang banyak dilakukan oleh masyarakat petani. Pada sekitar tahun1980 masyarakat Desa Banjarsari, Kecamatan Madiun Kabupaten Madiun masih banyak melaksanakan tradisi methil. Namun sekarang hanya sebagian masyarakat yang masih melaksanakannya. Itupun hanya berupa selamatan panggang buceng beserta lauknya di sawah. Ironisnya waktu sekarang justru selamatan tersebut kadang dilaksanakan sewaktu padi telah dipanen atau sudah mencapai separoh lahan tanaman padi yang dipetik. Asumsi masyarakat sekarang yang terpenting adalah diadakan selamatan biar mendapat keselamatan baik yang punya sawah maupun yang bekerja.

Sekitar tahun 1980an tradisi methil masih dilaksanakan secara baik. memang waktu itu cara memanen padi masih dilakukan dengan cara tradisi yaitu memakai ani-ani kemudian diagemi (diikat). Sehingga masyarakat sering mengatakan masa pari ageman (padi yang masih diikat). Sedangkan sekarang panen padi dilakukan dengan cara yang lebih canggih dan praktis. Apakah itu yang menjadi alasan terjadinya perubahan tradisi methil. Tentu ini bukanlah alasan yang tepat.

Diawali dengan pemberian mandat dari yang punya sawah kepada seorang dukun (orang yang biasa memimpin ritual). Adapun permintaan yang disampaikan oleh yang punya sawah kurang lebih seperti ini; “Mbah kula nyuwun tulung dhumateng Panjenengan minangka sesulih kula anggenipun badhe mboyong Mbok Sri Sedana saking karang pesabinan saged kaboyong wangsul wonten balewisma kanthi wilujeng” ( Mbah saya mohon tolong kepada Anda untuk sudi mewakili saya memboyong Mbok Sri Sedana dari sawah diboyong kerumah dalam keadaan selamat). Kemudian orang yang diberi mandat tersebut menerima mandat dan segala uba rampenya beserta sesaji lengkap yaitu berupa ani-ani, kain/slendang, kemenyan, perlengkapan bersolek (pengilon/kaca rias, bedak, sisir, minyak srimpi), pisang raja setangkep (dua sisir), cok bakal, benang putih (lawe wenang), bunga telon, payung, air dalam kendi juga panggang buceng. Kemudian uba rampe tersebut dibawa ke sawah oleh yang diberi mandat dibantu para rombongan yang membawa uba rampe. Sesampainya di sawah semua sesaji ditata dengan baik. kemudian dukun (yang diberi mandat) mengawali upacara dengan membakar kemenyan dan membaca doa methil.

Adapun doa yang diucapkan sebagai berikut; Sri nganti, Sri ayom, ngeneni wiji, asal kawijilaning wiji saka ing Wali, brekat murah saka ing Wali, muga agung kang dieneni, oleha sabda Rasullah, Embok Sri Sedana aja sira kaget kataman wesi pulasani (iya iku ani-ani), adhem asrep kaya siniram banyu wayu sewindu.” Setelah doa selesai dilakukan tanaman padi yang akan dipetik disiram dengan air bunga. Mulailah batang padi dipotong menggunakan ani-ani sampai satu genggam (saktekem), atau kira-kira 70 batang padi.  Kumpulan batang padi tersebut diikat pakai lawe wenang. Setelah itu daun yang masih ada (satu helai daun pada tangkai) disingkap keatas dijadikan satu kemudian dikelabang (dikepang) seperti mengelabang rambut manusia dan dihiasi dengan bunga. Adapun doa sebelum mengepang (mengelabang) sebagai berikut ; Imam tokhid ma,rifat, nabi wali mukmin, sakabehe penganten pari.’’ (Tanoyo;..;101). Kain/slendang dipakaikan pada ikatan butiran padi seperti orang Jawa memakai kain. Baru diberi minyak wangi. Batang padi pada ujungnya (bagian atas yang tidak tertutup kain) dipupuri (dibedaki).

Kemudian sisir dan pangilon (kaca rias kecil) diletakkan di dekatnya Perlakuan ini seperti layaknya perlakuan pada temanten Jawa. Oleh sebab itu asyarakat Jawa memberi nama pada ikatan padi tersebut dengan nama mantenan (seperti manten). Mantenan kemudian diletakan pada tempat yang bagus kemudian dipayungi. Usai acara tersebut baru digelar dengan mengadakan selamatan panggang buceng.  Setelah diberi doa panggang buceng tersebut dibagi rata pada yang hadir. Menjadi sebuah kebiasaan masyarakat setempat apabila mengadakan upacara selamatan berupa panggang buceng yang pertama kali dilakukan adalah membuat surudan yaitu memotong tumpeng sedikit pada bagian atas (kerucutnya) kemudian diberi sayur urap-urapan. Juga potongan ayam panggang yang berupa; kepala dan lehernya, suwiwi (sayap), cakar, brutu (bagian ekor). Surudan tersebut diletakkan pada tempat tertentu (pojok sawah, kijing/makam dan lain sebagainya ) sesuai tempat upacara berlaku. Tidak terkecuali pada acara methil ini, surudan diletakkan pada pojok sawah atau bekas tanaman padi yang baru dipotong.

Ada kepercayaan masyarakat bahwa surudan tersebut diperuntukkan untuk arwah leluhur atau  roh yang menunggu lokasi tersebut.  Kata surud; surut sendiri menurut Wojowasito (…;254) berarti mundur. Memang benar setelah surudan tersebut diletakkan pada tempatnya setelah beberapa saat diundur atau diambil lagi untuk dimakan. Begitu selamatan selesai maka mantenan tadi digendong oleh dukun (orang yang menerima mandat) untuk diboyong pulang ke rumah (bale wisma). Selama perjalanan mantenan tadi dipayungi agar tidak terkena terik matahari secara langsung. Sementara yang di rumah (yang punya sawah) menunggu kehadiran mantenan tadi. Selanjutnya upacara penyerahterimaan mantenan dari yang diberi mandat kepada yang punya sawah. Setelah diterima mantenan tadi dibawa masuk untuk diletakkan di depan senthong (kamar tengah) dengan baik. Tidak lupa sesaji berupa segelas air putih, wedang kopi, rokok, sekapur sirih juga nasi beserta lauk pauknya serta lampu minyak . Masyarakat menganggap bahwa mantenan tersebut adalah mbok Sri (merupakan dewanya padi) yang harus diperlakukan dengan baik.

Saya pernah menulis sebuah geguritan yang menceritakn tentang peristiwa methil tersebut dalam antologi geguritan tunggal, sebagai berikut;

Mbok Sri sun teka sira aja kaget
Iki wis wancinira mulih mring pawisman
Sun teka anggawa sakehing bebana
Kanggo methuk mring tindhakira
Dhuh Mbok Sri lepata nyuwung ngapura
Sun nedya amagut mring jangganira
Glagang jati, kalung jati, wesi pulasrani niku gegamaningsun
Mula sira aja duka bakal takboyong pindha temanten anyar
Sun gedhong slendang sutra
Sun klabang rekmanira
Sekar arum, lesah wangi dadya rasa asih marang ira
Sekul tumpeng ayam panggang lan urap-urap wus sumadya
Minangka tetukon anggoningsun mboyong Mbok Sri Sedana
Tan kantun toya jroning kendhi pratala
Ayo Mbok Sri sun arak mulih marang bale wisma
Taklungguhke tengahing senthong
Takcawisi sakehe sesaji
Pangajab tansah ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi
Murah sandang lan pangan
Sadaya tansah murakabi
(Setiyadi; 2013;118)

g. Ngunggahke Pari
Ngunggahke pari berarti menaikkan (menyimpan) padi di lumbung.  Ketika penulis berumur sekitar tujuh tahun memang terjadi masa peralihan antara pari gagang (ageman; masih bertangkai/batang) menuju pari gebugan (dipukul agar  butir padi terpisah dengan tangkainya/merang). Dengan begitu penulis hanya bisa sedikit mengingat tentang upacara tersebut. Begitupun bertanya yang lebih tua/orang yang sudah tua mereka kurang paham masalah tersebut. Hal ini dimaklumi karena hanya orang yang mempunyai sawah yang luas mereka bisa menyimpan padinya di lumbung. Ketika itu memang masih jarang tanaman padi bisa melimpah seperti saat ini, dikarenakan pengolahan masih secara tradisional.

Upacara ngunggahke pari dipimpin oleh seorang dukun atau orang yang dianggap mumpuni dalam upacara ini. Diawali dengan menyiapkan sesaji berupa daun kluwih (mempunyai harapan yang luwih;lebih), daun apa-apa (maksudnya apa yang diharapkan akan tercapai), cok bakal, kembang telon dan dua sisir pisang raja (lambang kemuliaan dan kemakmuran), toya ing kendi pratala (air yang dikemas dalam kendi yang terbuat dari tanah).

Setelah sesaji semua lengkap pemimpin ritual duduk bersila menghadap ke lumbung untuk berdoa. Adapun doanya seperti berikut; “ Sangga-Pratala jejeg arane Dzat, sifat urubing cahya ginawa minangka rowang dening sukma, pitung arasy, pitung kursi, katitisana kaya dene pandhan wangi, ngrembakaa kaya dene wit waringin, jinurungana dening Mbok Sri Sedana, oleha sabda Rasullah s.a.w.” (Tanoyo;..;102). Kemudian daun kluwih, daun apa-apa ditaruh ditengah lumbung dan ditumpangi padi satu persatu. Selanjutnya peletakan padi dilanjutkan oleh yang punya padi dan dibantu beberapa orang sampai selesai. Sedangkan pisang dibagikan kepada yang hadir.

Jaman sekarang cara panen padi sudah menggunakan mesin perontok. Jadi padi sudah dikemas dalam karung-karung. Sesampai dirumah ditumpuk dalam gudang untuk menunggu proses penjemuran. Dengan begitu upacara ngunggahke pari sudah tidak pernah dilakukan lagi.

bersambung...
http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-dalam-sistem-mata-pencaharian-bagian-i/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar