Rabu, 06 Desember 2017

Budaya Tradisi dalam Sistem Mata Pencaharian (bagian II)

II. Mitos Dewi Sri
Tulus S *

Budaya tradisi bercocok tanam padi di atas adalah sebuah simbol kebudayaan masyarakat Jawa yang memuliakan Dewi Sri sebagai dewanya padi. Mitos Dewi Sri ataupun budaya tanam padi seperti di atas termasuk budaya lisan yang patut dihargai dan dilestarikan. Pada hakikatnya nenek moyang kita telah mengenal dan mempunyai bentuk penghargaan terhadap “pangan”. Kearifan lokal nenek moyang itu salah satunya tertuang dalam mitos tentang Dewi Sri.
Nusantara telah mengenal siapakah Dewi Sri tersebut walau antara daerah yang satu dengan yang lain ada sebuah perbedaan. Itu adalah wajar karena sifat sastra lisan memang begitu adanya. Jika di wilayah Jawa, Bali dan Madura menyebutnya dengan Dewi Sri, maka di tanah Pasundan dikenal dengan nama Nyi Pohaci, Sang Hyang Sri. Untuk daerah Flores disebut Dewi Sri Ine Mbu, sedangkan untuk daerah Bugis disebut Sanghiang Sri atau Sangiangseri.

Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang merupakan lambang “kebahagiaan dan kesuburan” tertulis dalam Babad Ila-Ila. (Kumala; 2010;116). Mitos Dewi Sri sangat erat dengan kehidupan masyarakat agraris yang sangat mendambakan “kesuburan”. Masyarakat Jawa memanifestasikan mitos Dewi Sri dengan ritual budaya masyarakat seperti adat bersih desa, budaya tanam padi.

Tokoh Dewi Sri  (Sri-Sadono) tersebut juga terkait dengan asal-usul kejawen. Dimana Sri sebenarnya penjelmaan Dewi Laksmi, istri Wisnu sedangkan Sadono adalah penjelmaan Wisnu itu sendiri. (Hadiwijono;1983;21). Itulah sebabnya kalau ada anggapan bahwa Sri dan Sadono adalah kakak beradik, kebenarannya tergantung darimana kita meninjau. Dalam kaitan ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah suami istri yang menjadi cikal bakal kejawen. Maka dalam berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapat tempat khusus. Dewi Sri dipercaya sebagai dewa padi, dewa kesuburan.

Dewi Sri dan Wisnu menurut Tantu Panggelaran memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Dari sumber ini, akan meneguhkan sementara bahwa nenek moyang Jawa memang dewa. Berarti kaum kejawen sebenarnya berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya. Selanjutnya Dewi Sri dianggap menjelma ke dalam diri tokoh putri Daha bernama Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi Raden Panji. Keduanya pernah berpisah namun akhirnya berjumpa kembali.

Menurut beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadono atau Panji dengan Sekartaji terjadi di gunung Tidar Magelang. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan Sri diberi tetenger (tanda) dengan menacapkan paku tanah Jawa. Hal ini sekaligus untuk mengokohkan tanah Jawa yang sedang goncang. Sejak itu tanah Jawa tenang kembali. Paku tersebut kelak dinamakan Pakubuwana (paku bumi). Pakubuwana inilah yang menyebabkan orang Jawa tenang, sehingga keturunan Sadono dan Sri menjadi banyak. Hanya saja keturunan mereka ada yang baik dan ada yang buruk. Maka Batara Guru segera menyuruh Semar dan Togog ke gunung Tidar. Semar diminta mengasuh keturunan Sadana-Sri yang baik-baik dan Togog mengikuti yang angkara murka. (Suwardi;203;2).

Togog dan Semar pun akhirnya menurut perintah itu, karena merasa bahwa Bathara Guru sebagai rajanya. Baik Togog maupun Semar dianggap telah kalah dalam perlombaan nguntal (menelan ) gunung. Ketika lomba dimulai Togog mendapat giliran pertama untuk menelan gunung. Gunung itu tidak dapat masuk ke mulut Togog, tetapi Togog memaksakannya. Akibatnya mulut Togog menjadi sangat lebar. Sedangkan Semar dapat menelan gunung tetapi gunung itu tidak dapat keluar dari tubuhnya. Sehingga menyebabkan bokong Semar menjadi besar. Kelak gunung yang ada di dalam perut Semar berfungsi sebagai senjatanya. Semar terkenal dengan kentutnya yang sangat bau (busuk), sebagai senjata yang mematikan. Dalam perlombaan menelan gunung hanya Batara Guru yang sukses. Batara Guru kuat menelan gunung dan akhirnya berhak menjadi raja di Kahyangan. Namun dia juga tidak bisa mengeluarkan gunung dari perutnya, bahkan tiba-tiba tangannya bertambah dua, menjadi empat.

Dari kisah-kisah mistis demikian, menggambarkan bahwa sejak semula masyarakat kejawen memang banyak berkenalan dengan mistik. Paham mistik telah mengitari hidup mereka. Paham mistik Sri dan Sadono selanjutnya dalam tradisi kejawen dipuja menjadi sebuah patung kecil bernama Loro Blonyo.

Sebagai dewi pertanian, Dewi Sri dan Sadana yang diwujudkan dalam bentuk patung Loro Blonyo biasanya diletakkan pada pasren (senthong tengah). Pada waktu dulu masyarakat pedesaan menggunakan senthong tengah untuk menyimpan padi. Patung Dewi Sri diletakkan di sebelah kiri sedangkan patung Sadana diletakkan di sebelah kanan. Dewi Sri sebagai lambang kewanitaan selalu pula menjaga senthong kiwa (bilik kiri) tempat hasil-hasil bumi. Sadana sebagai penjaga pula senthong tengen (bilik kanan) tempat senjata pertanian. Apabila ada orang yang mau mengambil hasil pertanian ataupun ada maling aguna (pencuri Sri/wanita) maka Sadana yang bertanggung jawab.

Manifestasi dari patung Loro Blonyo adalah pada saat orang Jawa melaksanakan hajat pernikahan, selalau dilambangkan patung kecil ini. Hal ini merupakan representasi agar hubungan dua mempelai menjadi kaken-kaken ninen-ninen, maununggal seperti Dewi Sri dan Sadana. Oleh karena awalnya orang Jawa bekerja sebagai masyarakat agraris, maka patung Loro Blonyo dipandang sebagai wujud dewa pertanian dan sekaligus kemanunggalan pria dan wanita. (Suwardi;2014203).

Lebih lanjut Suwardi (2014;2013) mengisah tentang Dewi Sri, diceritakan bahwa dia adalah penjelmaan Wiji Widayat. Wiji Widayat akan dianugerahkan kepada titah marcapada oleh Bathara Guru. Bathara Guru berposisi superior, sehingga berhak membuat keputusan, mutlak, otoriter, dan harus dianut oleh strata di bawahnya. Dia bersikap memerintah dan memutuskan secara sepihak dalam penganugerahan wahyu. Pada waktu wahyu akan dianugerahkan, ternyata tak menurut kehendak Batara Guru sehingga meluncur sendiri ke marcapada. Akibatnya wahyu harus menerima kutuk Batara Guru. Tiba-tiba wahyu Wiji Widayat meluncur sampai ke dasar laut dan masuk ke perut Nagaraja. Tentu saja hal ini membuat perut Nagaraja merasa sakit dan tak enak badan. Dia segera dibawa kehadapan Batara Guru. Akhirnya perut Nagaraja dipegang oleh Batara Guru dan muntahlah dia, mengeluarkan dua orang makhluk. Makhluk itulah yang kelak dinamai Sri dan Sadana. Hanya saja Sadana dan Sri menikah setelah besar, sehingga membuat Batara Guru marah.

Karena keduanya dianggap sebagai saudara sepupu. Sri dan Sadana pun meninggal dunia karena kutukan Batara Guru, dan diperintahkan agar dibuang ke hutan. Dua dewa bernama Wangkas dan Wangkeng yang ditus membuang jenasah Sri dan Sadana, ternyata sangat penasaran. Keduanya sempat membuka jenasah yang ada dalam peti tersebut. Bersaman itu pula jenasah sadana hilang dari peti. Karena itu tiba-tiba dari dalam peti keluar walang sangit yang tak terhingga banyaknya. Walang sangit inilah yang kelak akan menjadi musuh petani padi. Untuk itu padi segera ditutup dan segera dibawa ke hutan Krendawahana untuk dikuburkan. Pada waktu Dewi Sri dikuburkan, tak ada tanda-tanda aneh. Karenanya kedua dewa itu hanya menitipkan pesan kepada petani desa agar memelihara kuburan tersebut. Petani yang tak jauh dari kuburan segera menyiram kuburan itu dengan air setaman (air bunga).

Ternyata genap tujuh hari dari kuburan tersebut tumbuh padi yang hijau.Karenanya petani itu sering memberikan saji-sajian di kuburan tersebut setelah memanen padi. Petani di desa itu semakin kaya raya berkat memanen padi tersebut. Sejak itu pula, Dewi Sri menjadi pujaan petani padi. Namun suatu saat padi tersebut juga diserang hama berujud walang sangit. Ternyata walang sangit itu berasal dari roh Raden Sadana, yang tak lain sebagai Dewa Wisnu. Jadi walang sangit mengganggu padi sebenarnya sebagai upaya pertemuan mistis antara Dewi Sri dengan Wisnu. Keduanya dapat menyatu setelah melalui pengembaraan sukma. Selanjutnya untuk memperingati kisah itu, setiap akhir panen dilakukan bersih desa dengan pertunjukan wayang kulit mengambil lakon Sri Mulih. Lakon ini merupakan proses pertemuan mistis dan sakral antara Sri dan Sadana.

Dalam konteks sosial budaya masyarakat Jawa masa kini, Dewi Sri masih dikenal dan dipercaya mendatangkan kebaikan bagi para pemakainya. Dalam masyarakat Jawa nama Dewi Sri sering dipakai sebagai nama tempat usaha seperti; toko, transportasi, merk dagang, rumah makan dan lain-lain. Tidak hanya itu saja, ternyata nama Sri masih banyak digunakan dalam mistik Jawa. Misalkan untuk perhitungan mendirikan rumah maka menggunakan penghitungan; Sri, Kitri, Gana, Liyu, Pokah. Juga untuk pembuatan usuk (pilar) rumah menggunakan hitungan Sri, Werdi, Naga, Mas, Perak. Pembuatan usuk jatuh pada Sri apabila akan digunakan untuk pilar bangunan lumbung. Sedangkan yang lain, digunakan untuk kandang, dapur, rumah belakang dan pendapa. Selain itu dalam budaya mistik Jawa sangat menekankan Sri Sadana sebagai keberuntungan di dalam perhitungan pergi mencari nafkah. Hal tersebut tertulis dalam Primbon Betaljemur Adammakna (2001;124). Di mana tertulis hitungan Sri, Sadana, Siksa, Lara, Pati.  Sangat jelas di sini kaitannya penempatan Sri dengan pangan.

Pada era globalisasi ini, ketika pandangan masyarakat sudah modern ternyata masyarakat masih mewarisi suatu kearifan lokal yang berkaitan dengan dewi padi. Pada haikikatnya Dewi Sri sebagai dewanya padi berkaitan dengan filosofi nusantara (tidak Jawa saja) tentang kehidupan, khususnya bagi masyarakat agraris. Dengan begitu Dewi Sri sebagai simbol kesejahteraan manusia karena berkaitan dengan pangan yang harus dimanifestasikan dalam realitas. Mitos Dewi Sri dan kedudukannya dalam dunia realitas adalah cerminan bagaimana masyarakat sekarang mentransformasikan mitos tersebut dalam kehidupan masa kini. Bagaimana masyarakat masa kini memakai sarana mitos tersebut dalam kehidupan yang berkaitan dengan dirinya sebagai individu dan masyarakat. Dengan penggunaan nama Dewi Sri untuk berbagai nama usaha berarti sebuah kenyataan bahwa mitos Dewi Sri masih dianggap memiliki nilai positif yang sangat bermanfaat.

bersambung...
http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-dalam-sistem-mata-pencaharian-bagian-ii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar