III. Peralatan Tradisi Pertanian
Tulus S
Alat-alat pertanian tidak lepas dari budaya manusia terutama masyarakat pedesaan. Masyarakat Jawa boleh dikatakan apapun yang dilakukan baik berupa bahasa, adat, nyanyian di dalamnya penuh simbol-simbol yang tersembunyi. Begitu juga alat-alat tradisi pertanian yang sekarang sudah jarang/tidak lagi dipakai oleh masyarakat petani. Era globalisasi sedikit banyak telah merubah tradisi tersebut yang katanya lebih menuju pada ke-modernisasi-an.
Namun dibalik semua itu tentu budaya tradisi tidaklah menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Seperti peralatan pertanian yang berupa cangkul dan bajak yang sebenarnya mengandung simbol-simbol ajaran luhur bagi manusia. Manusia Jawa berpandangan bahwa dunia ini adalah sebuah simbolisme dan melalui simbol-simbol itulah manusia akan bisa berpikir tentang kondisinya dan berkomunikasi dengan Tuhan.
Kadang ada pemikiran yang miring tentang simbol-simbol tersebut yang mana sering disebut sebagai ungkapan othak-athik mathuk. Buntut dari pemojokan tersebut sering merebak pemikiran yang minor; kilahnya pola pikir orang Jawa itu kethul (tumpul). Tuduhan semacam itu tentu menjadikan kuping kita sakit (ngabangake kuping). Sudah saatnya pemikiran yang demikian ditepis jauh-jauh dan diluruskan dalam pengertian yang benar. Bukannya sebuah ilmu atau sesuatu lahir atas othak-athik mathuk juga. Para ilmuwan telah melakukan percobaan-percobaan ini juga sebuah bagian othak-athik mathuk juga.
Suwardi menjelaskan (2012;20) bahwa sedikit sekali yang mengakui bahwa ilmuwan kaliber dunia; Plato, Archimides, Boyle, Thomas Edison dan lain-lain mereka itu juga pendekar othak-athik mathuk. Dia mencontohkan ketika Thomas Edison menemukan listrik. Dimana Edison memasuki proses eksperimentasi terhadap ayam yang sedang mengerami telurnya. Baru setelah 21 hari telur itu panas. Ia lalu terburu-buru menuliskan hasil temuannya bahwa panas ada kaitannya dengan listrik. Tidak ubahnya tradisi ini digunakan pengusaha telur dan ayam potong. Jadi Edison dianggap mengembriokan othak-athik mathuk.
Tentu di sini dapat dilihat bahwa othak-athik mathuk tersebut merupakan bagian budaya manusia dalam memahami sebuah konteks tertentu. Tidak terkecuali dalam budaya Jawa, dimana di dalam mengolah pikirannya juga melalui othak-athik mathuk tadi sehingga menghasilkan sebuah ajaran yang luhur. Misalkan ajaran hasta brata, pemaknaan tentang huruf hanacaraka, juga simbol-simbol yang lainnya.
Ilmu dan teknologi paling mudah untuk mengkaitkan dengan derajat kebudayaan suatu masyarakat. Ilmu membuat manusia menjadi tahu akan sesuatu, dan dari pengetahuan itu manusia mengambil keputusan. Teknologi paling banyak memberikan sumbangan pada pembentukan kebudayaan, karena dibandingkan dengan unsur lainnya teknologi paling berjasa di dalam memberikan jawaban atas kebutuhan hidup manusia. Berbeda dengan filsafat yang rumit dan tidak konkret, ilmu dan teknologi sangat nyata karena memberikan solusi langsung bagaimana mengatasi manusia lapar dengan teknik mengolah tanah dan menyajikan makanan hingga seni kuliner; mengatasi manusia untuk berlindung dari berbagai ancaman dengan membuat gua-gua atau rumah-rumah panggok pada masyarakat primitive dan nomaden hingga rumah gedung bertingkat macam flat, apartemen, hingga kondominimum dalam masyarakat super modern; Dengan sains dan teknologi manusia bisa memperoleh sejumlah kemudahan bahkan pemanjaan.
1. Pacul (cangkul)
Pacul (cangkul) merupakan salah satu peralatan yang digunakan oleh petani untuk mengolah tanah. Pacul tidak hanya sebagai suatu alat saja namun mengandung unsur-unsur filosofi di dalam bagian-bagiannya, sebagaimana berikut ini:
Pacul: merupakan besi berbentuk persegi empat dan bagian ujung bawah tajam yang berfungsi untuk mencangkul. Pacul diartikan sebagai ungkapan kipatna barang kang muncul (menyingkirkan barang yang tidak rata/kurang pas). Dalam pandangan Jawa bahwa manusia harus mampu meninggalkan sesuatu yang tidak pas (ora gathuk, kurang mathuk, ora mathis). Dalam hal ini nilai-nilai filosofi Jawa akan bisa dipahami dengan baik. Ketajaman pada ujung pacul merupakan gambaran ketajaman berpikir (mengolah ilmu) untuk tujuan yang luhur. Tajam (landhep;Jw) merupakan keinginan manusia agar bisa landhep panggraitane (tajam perasaannya), landhep pikire (tajam cara berpikirnya). Kata macul (mencangkul) berarti mapakne barang kang muncul (menata/mengatur sesuatu yang tidak pas). Dengan begitu sangat jelas bahwa manusia Jawa dituntut untuk bisa menata kehidupannya di dalam bermasyarakat. Tata krama, unggah-ungguh, suba sita dan lain sebagainya merupakan batasan norma yang harus bisa dilaksanakan dengan baik oleh manusia Jawa. Dengan begitu keselarasan hidup akan bisa dicapai jika manusia Jawa mampu membuang hal-hal yang tidak pas/sesuai. Nilai keselarasan itu apabila bisa menjaga keseimbangan alam maupun keseimbangan lahir dan batin.
Bawak (pada pangkal pacul ada lobang untuk menempatakan doran). Bawak berarti obahing awak (geraknya badan). Manusia hidup tentu harus bisa menggerakkan badannya dengan baik. Dalam hal ini adalah usaha manusia dalam berihktiar memenuhi kebutuhan lahir maupun batinnya. Manusia hidup tidak boleh diam saja, harus mampu menjalankan darma yang diberikan oleh Tuhan. Darma itu adalah amanah yang harus dikerjakan. Ajaran memayu hayuning bawana (memelihara keselamatan dunia) tentu sebuah hal yang betul-betul harus dipahami dan dilaksanakan oleh manusia Jawa. Dalam konteks ajaran Jawa tentu keselamatan itu harus meliputi keselamatan lahir maupun keselamatan batin. Secara lahir manusia diwajibkan untuk mencari sumber kehidupan yang berupa nafkah dan atau materi yang lain. Dengan begitu secara otomatis akan tumbuh sebuah budaya yang berwawasan hidup bermasyarakat (sosial). Secara batin ini berkaitan dengan nilai spiritualisme, religious (kerohanian). Dengan kata lain manusia harus mampu menjaga hubungan dengan Tuhan sebagai pemberi kehidupannya. Orang Jawa bisa melakukannya dengan cara lelaku. Dengan adanya keseimbangan antara lahir dan batin niscaya keselamatan dunia bisa dicapai.
Doran (batang kayu sebagai pegangan yang dikaitkan dengan bawak). Doran diartikan donga mring Pangeran (berdoa). Manusia selain berusaha maka diharuskan selalu mengingat akan kekuasaan Tuhan sebagai penentu keberhasilannya. Doa merupakan harapan yang ingin dicapai. Dengan berdoa manusia berharap diberi sebuah kekuatan dan petunujuk untuk menjalankan sesuatu. Doa adalah perjalanan batin manusia menuju Tuhan (komunikasi antara manusia-Tuhan). Dengan adanya komunikasi tersebut maka perasaan tenang, damai akan bisa diperoleh. Doa merupakan ungkapan hati yang mengandung harapan baik yang terucap maupun hanya dalam batin.
2. Luku (bajak)
Luku (bajak) merupakan salah satu alat pertanian yang digunakan petani untuk mengolah lahan dengan bantuan tenaga kerbau atau sapi. Adapun bagian-bagian dari luku (bajak) tersebut adalah sebagai berikut:
a. Cekelan (pegangan) yaitu sebatang kayu yang terletak di bagian belakang yang berguna untuk pegangan. Dalam pandangan manusia Jawa bahwa hidup itu harus mempunyai pegangan (pathokan, tuntunan). Dengan begitu manusia akan mempunyai arah dalam segala langkahnya. Arah yang dimaksud adalah sebuah pathokan atau batasan-batasan yang harus dijalankan agar mencapai kehidupan yang selaras, seimbang dalam mencapai kesempurnaan hidup. Untuk mencapai sebuah kesempurnaan hidup manusia Jawa dituntut untuk bisa berbudi luhur. Karena orang yang berbudi luhur maka tindakannya tidak akan menyimpang dari ajaran kesucian yang merupakan pathokan dalam hidupnya. Hidup yang luhur akan menjadi bekal ketika manusia Jawa menuju sangkan paran dan menemukan tempat yang selayaknya.
Ajaran budi luhur itu bisa didapatkan dari keyakinan atau agama yang telah dianut. Kita ketahui bahwa masyarakat Jawa telah mengenal beberapa agama, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ataupun ajaran-ajaran luhur (pepali, wewarah, adat, tata cara, tradisi dan lain-lain) yang merupakan sumber dari ajaran luhur itu sendiri.
b. Tandhing (sebongkah kayu/logam yang berguna untuk menguatkan sambungan antara cekelan dan singkal agar bisa kokoh/tidak goyang.). Tandhing berarti membandingkan. Dimana manusia Jawa harus bisa membandingkan sesuatu dengan bijak. Sekiranya sesuatu itu tidaklah baik maka harus ditinggalkan/disingkiri. Dasar membandingkan ini adalah sebuah penilaian yang dilakukakan dengan cermat, hati-hati dan penuh pemikiran yang dalam. Sehingga konsep membandingkan dalam konteks ini akan memperoleh sifat yang wicaksana (bijaksana).
Dalam budaya Jawa ada ungkapan yang menuju pada sifat atau tindakan bijakasana, yaitu; sama, beda, dana, denda. Sama berarti manusia selalau waspada dan siaga terhadap ancaman yang bisa merongrong kewibawaan dan harga diri sebuah bangsa. Beda memberi perlakuan yang adil terhadap siapapun juga tanpa membedakan status, hubungan kekerabatan atau yang lainnya. Manusia Jawa tidak boleh mban cinde mban ciladan (pilih kasih). Oleh sebab itu manusia Jawa harus selalau mempertahankan dan mengupayakan dasar-dasar keadilan. Untuk itu ketaatan terhadap hukum, aturan, ketentuan, dan tata cara ataupun tradisi yang mengatur tentang keadilan.
Manusia Jawa harus mau berbuat/bertindak hati-hati dengan pertimbangan yang baik (deduga, prayoga). Dan bisa memberikan manfaat yang baik kepada siapapun juga. Kesanggupan atau kemampuan manusia Jawa untuk tidak merugikan dan menyusahkan, tetapi sebaliknya justru bisa menguntungkan dan menyenangkan yang lain (karya nak tyasing sasama) merupakan sifat keutamaan manusia Jawa (kotamaning urip). Denda yaitu memberikan hukuman kepada saiapaun juga sesuai dengan kesalahannya tanpa melihat hubungan kekerabatan, stataus sosial dan lain sebagaianya. Sikap adil paramarta berbudi bawa leksana merupakan perlakuan sama di depan hukum yang akan memberikan kewibawaan seorang penegak hukum.
Hukum pembandingan ini tentunya bukan untuk menjatuhkan, menjelekan ataupun merendahkan yang lain. Tetapi dengan pemikiran yang jernih dan bijaksana tersebut manusia Jawa akan menemukan konsep-konsep kehidupan yang mulia dan luhur. Jadi pembandingan ini sebuah pemikiran/cara untuk menguatkan jati diri keluhuran manusia Jawa itu sendiri. Dengan begitu nilai keseimbangan, keselarasan, keserasian dan keterpaduan dapat dicapai untuk memberi pilihan sikap yang dianggap baik.
Konsep pembandingan ini hampir senada dengan konsep pertimbangan. Yaitu sebuah cara untuk memikirkan dengan baik agar diperoleh sebuah keputusan yang tepat. Dalam kehidupan Jawa tentu segalanya banyak dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Jadi tidak gobras-gabrus sak karepe dhewe, ora ngawur. Segala tindakan tentu dipikir dahulu, dipilah-pilah agar apa yang dikehendaki bisa mencapai hasil yang lebih baik.
c. Singkal (adalah sebongkah kayu/logam sebagai tempat menancapkan kejen). Singkal berarti sing tinemu akal (menggunakan penalaran;rasio). Penalaran atau pemikiran manusia Jawa tentunya tidaklah dangkal (cethek pikire). Karena manusia yang cethek pikire (dangkal pemikirannya) tidak akan bisa menemukan nilai-nilai luhur dalam konsep budaya Jawa. Sekarang generasi Jawa banyak yang berpikir praktis tanpa mau berpikir secara jauh untuk memahami pola kebudayaan Jawa (dipangan mentah). Model seperti inilah yang secara perlahan bisa merusak bahkan menghancurkan nilai-nilai budaya Jawa itu sendiri. Konsep berpikir secara penalaran yang baik tentu harus ada pertimbangan secara logika atau ilmiah untuk menangkap sesuatu. Manusia Jawa diajarkan untuk bisa berpikir secara menggalih (menggunakan rasa tidak hanya rasio saja) dan ini bisa dikatakan sebagai berpikir secara filosofi Jawa. Hal inilah yang membedakan berpikir filsafat Jawa dengan filsafat lainnya. Dalam arti luas pola pikir merupakan pedoman hidup orang Jawa dalam mengembangkan gagasan.
Pola pikir merupakan garis-garis hidup yang musti dijalani dengan baik. dikarenakan pola pikir itu senada dengan falsafah hidup. Yakni berupa apa saja yang mampu membeberkan alur-alur pandangan jagad, suatu keyakinan yang dihayati sebagai nilai yang memotivasi kehidupan orang Jawa. Pola pikir Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan pada penghayatan dan pengamalan pada sistemasi rasional logisnya. (Endra;2012;45).
Dalam budaya Jawa banyak sekali adanya simbol-simbol dalam setiap kegiatan. Misalkan saja tuwuhan, selamatan, tata cara tradisi lainnya yang di dalamnya kaya akan simbol yang mengandung makna ajaran luhur. Apabila manusia Jawa tidak mempunyai penalaran yang baik maka simbol-simbol itu dianggap hal yang tiada guna. Bahkan pernah dikecam sebagai sesaji setan. Kadang ini menyakitkan sekali, namun memang mereka tidak paham atau tidak mau memahami/mengerti tentang simbol-simbol tersebut. Sudah menjadi kewajiban bagi manusia Jawa untuk membuka diri mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan simbol-simbol itu dengan penalarannya yang bersifat positip. Dengan begitu pola pikir yang positip itu akan memberikan konstribusi yang besar terhadap khasanah kebudayaan Jawa. Tentu dasarnya adalah menggunakan pemikiran atau penalaran yang logis dan benar. Maksudnya adalah pemikiran yang dapat diterima dengan logika akal dan logika hati.
d. Kejen (lempengan logam tipis dan tajam yang melapisi singkal atau sering disebut pisau bajak). Kejen berarti kasawijen, dimaksud adalah kemanunggalan. Kemanungglan dalam budaya Jawa dibedakan menjadi tiga, yaitu; (1) kemanunggalan manusia dengan Tuhannya. (2) kemanunggalan antar manusia dan manusia.(3) kemanunggalan manusia dengan alam. Konsep ini tentu sama dengan konsep ajaran manunggaling kawula Gusti.
Kawula adalah aku (yang tidak kekal) sedangkan Gusti adalah Tuhan (penjabaran 1). Kawula di sini adalah hamba yang tiada berarti, sedangkan Gusti (Tuhan) merupakan sumber segala kekuatan dan berkuasa atas segala-galanya. Kawula Gusti merupakan sebuah karunia yang mampu memberikan kita kesadaran sebagai manusia dan kesadaran sebagai hamba. Insan yang mempunyai kesadaran sebagai manusia (hamba) adalah manusia yang telah dikaruniai kemampuan untuk hidup tumungkul (berserah diri) dengan andap ashoring manah (sangat menghormati lahir batin) di hadirat Gusti (Tuhan). manusia itu. Manusia merasa dirinya adalah ciptaan Tuhan yang telah memberikan kekuatan di dalam hidupnya. Oleh sebab itu kemanunggalan sebagai kawula Gusti sebuah perwujudan hubungan yang erat antara ciptaan dan yang menciptakan. Perwujudan itu digambarkan dengan berbagai cara dalam bentuk penghormatan (sembah;sembahyang).
Dalam Suluk Saloka Jiwa, R. Ronggowarsito menjelaskan bahwa Tuhan diumpamakan sebagai sesotya (permata) dan manusia sebagai wadahnya (embanan).(Suwardi;2003;36). Kesatuan Tuhan dengan manusia dapat dibaratkan sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Tuhan immanent dalam diri kawula, tetapi juga meliputi sang kawula. Bahkan alam, manusia dan Tuhan adalah satu dan sama saja.
Dalam sufisme Jawa manunggaling Kawula Gusti ada dua paham yang sedikit berbeda (Simuh;1995;135). Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah manunggal (union mistic) sejalan dengan wihdatul wujud (Tuhan dan manusia menyatu lebur menyatu). Sedangkan pendapat kedua mengacu pada istilah jumbuh, yang maknanya sejalan dengan wihdatul suhud (manusia merasa dekat dengan Tuhan). baik wihdatul wujud maupun wihdatul suhud sama-sama banyak penganutnya dan masing-masing memiliki alasan yang berbeda.
Orang Jawa sering menyebut Ingsun sebagai representasi Tuhan. Ingsun juga disebut Sang Alip. Istilah ini biasanya dikemukakan oleh penghayat tasawuf Jawa. Baik Ingsun maupun Sang Alif hampir selalu misteri dalam hati orang Jawa. Dalam karya sastra Jawa berbentuk suluk, misalkan suluk Sujinah, kata Ingsun berkonotasi Tuhan. Manusia sering dikatakan sira (kau). Memahami kata ingsun yang berarti ingwang (bahasa Jawa Kuna) memang tidak mudah. Ingsun berarti aku, namun dalam agama Jawa yang dimaksud adalah Tuhan. (Suwardi; 2012;39). Manusia Jawa harus bisa memahami arti daripada Ingsun itu yang sebenarnya. Menurut Pranoto (2007)(Suwardi;2012;39) dalam usaha mengetahui siapa sejatinya diri ini atau dalam bahasa Jawa disebut dengan singkat yaitu ingin mengetahui sapa ingsun, pada dasarnya merupakan usaha manunggaling kawula Gusti, suatu panggilan jiwa intuk mencari jati diri dan mengadakan pendekatan kepada Sang Pencipta.
Dalam serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung, pupuh pangkur dijelaskan tentang konsep bahwa Tuhan berada dalam tubuh manusia ;
Nadyan sastra kalih dasa
Wit saestu tuduh kareping puji
Puji asaling tumuwuh
Mirid sing akhadiyat
Ponang hanacaraka pituduhipun
Dene kang datasawala
Kagentyaning kang pamuji
Wahdiat jati rinasan
Ponang padhajayanya angyekteni
Kang tuduh lan kang tinuduh
Sami santosanya
Kahananya wakhadiyat pambilipun
Dene kang magabathanga
Wus kanyatan jatining sir
Makna serta maksud dari dua bait pupuh pangkur tersebut diatas kurang lebih adalah bahwasanya aksara Jawa yang duapuluh itu merupakan sebuah petunjuk tujuan berdoa (menyembah), pujia-pujian terhadap asal mula, hanacaraka sebagai petunjuknya sedangkan datasawala untuk yang memuji hingga terjadi kemanunggalan yang sejati, sedangkan padhajayanya merujuk pada kekuatan antara yang diberi petunjuk dan yang menunjuk sama-sama kuat (seimbang), adapun rahasia kemanunggalan kawula-Gusti terungkap setelah manusia tersebut mati (magabathang). Suwardi Endraswara, (2003;52).
Hubungan kemanunggalan antara manusia-dan manusia (2) merupakan penyatuan sebuah cita-cita dari sebuah kerukunan, kekuatan ataupun bentuk-bentuk solidaritas yang bersifat sosial. Hubungan di antara sesama manusia (masyarakat) merupakan hal yang mutlak dan harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Untuk menjaga sebuah hubungan yang baik tersebut diperlukan suatu bentuk aturan, tatanan, batasan yang membawa hubungan tersebut menjadi harmonis. Tentu sebagai mahkluk sosial saling menjaga dan menghormati adalah hal yang harus dilakukan agar terjadi sebuah keselarasan hidup, saling memahami dan saling mengerti. Ungkapan saiyeg saeka kapti merupakan salah satu perwujudan tentang kemanunggalan tersebut. Kebersamaan di dalam hidup bermasyarakat sangat diperlukan untuk membangun kepentingan bersama.
Dalam konsep manunggaling kawula (rakyat) dan gusti (pimpinan;raja) merupakan interpretasi hubungan yang erat antara rakyat dan gustinya (pemimpinnya). Manusia Jawa dituntut untuk bisa manjing ajer ajur (menyatu, berbaur) dengan yang lain. Karaton Yogyakarta merupakan sebuah simbol kemanunggalan antara kawula-Gusti (umat dan Tuhan) juga kawula-gusti (rakyat dan pimpinan). Hal itu terlihat adanya garis lintas antara gunung Merapi-Karaton-dan pantai Selatan. Rakyat sebagai pendukung kekuasaan (raja;pimpinan) dan kekuasaan (raja) sebagai pelindung rakyat. Sehingga sikap adil paramarta berbudi bawa leksana , sama, beda, dana, denda harus dipahami oleh setiap pemimpin Jawa.
Hubungan manusia dengan alam (3) merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Ini rangkaian daripada pengetahuan tentang jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Manusia Jawa sangat menghargai alam semesta ini, hal ini banyak terlihat dari ilmu budaya Jawa ataupun budaya tradisi. Hal tersebut merupakan perwujudan kemanunggalan manusia dan alam sebagai satu kesatuan yang erat. Dalam tradisi budaya bercocok tanam bagaimana manusia Jawa memperlakukan padi dengan sebaik-baiknya. Di mana padi yang merupakan penjelmaan dari Dewi Sri sangat dijunjung tinggi oleh para petani. Begitu pula adanya ilmu perbintangan dan lain-lainnnya. Bahkan dalam folosofi Jawa alam digunakan sebagai pedoman atau cara bertindak dalam menjalankan etika kehidupan, misalkan ajaran hastabrata. Bahkan raja-raja Mataram Jawa dan keturunnya masih mengaitkan tempat-tempat keramat sebagai wujud pengokohan statusnya.
Manusia dan alam semesta akan mengalami proses hidup yang panjang. Di dalam kebatinan Jawa bahwa proses tersebut diyakini sebagai gumelaring jagad. Kata alam sendiri dalam budaya Jawa mempunyai arti yang sangat luas. Tidak hanya sebagai tata lahir sebuah gambaran yang terlihat atau tampak di dunia ini. Misalkan saja gunung, langit, samudra, tanaman dan lain-lain. Sehingga dalam kebatinan Jawa dikenal adanya alam purwa (keadaan sebelum ada), alam madya (hidup di dunia yang sesungguhnya) dan alam wasana ( alam langgeng). Namun dalam konteks ini yang dimaksud dengan alam cenderung berkaitan dengan alam madya (kehidupan manusia yang sesungguhnya). Di mana penyatuan manusia dengan alam semesta merupakan rangkaian yang erat dan saling membutuhkan.
e. Tuntunan yaitu sebatang kayu panjang guna menghubungkan antara cekelan dan pasangan. Kata tuntun berarti panutan, memimpin, jadi tuntunan adalah sesuatu yang bisa dijadikan panutan (contoh) atau yang dijadikan pimpinan. Dalam nilai budaya Jawa bahwa pengembangan dan pemekar hati untuk mencapai rasa budi luhur biasanya dituntun oleh seorang guru, empu, ustadz, kyai, pujangga, pemimpin/raja dan lain sebagainya. Karena dari mereka telah memberikan sebuah ajaran dan contoh perilaku yang mulia. Dengan begitu kebajikan yang disampaikan akan berpengaruh kuat terhadap perilaku para pengikutnya atau kaumnya. Raja selain penguasa kuat atau pemegang kekuasaan ajarannya sangat berpengaruh terhadap masyarakatnya. Begitu pula guru, kyai, brahmana dan lain-lainnya yang telah mempunyai pengikut untuk mengikuti segala ajaran yang telah diberikan. Katakanlah Sultan Agung sebagai ratu gung binethara selain raja juga sangat perhatian terhadap perkembangan sastra dan budaya Jawa, sehingga melahirkan “Sastra Gending”. Di mana dalam buku tersebut telah tertulis dengan jelas bagaimana orang Jawa harus bersikap atau berperilaku. Begitu pula Mangkunegoro IV (serat wedatama), Pakubuwono IV (serat wulang reh).
Banyak manusia Jawa yang telah meletakkan dasar-dasar ajaran yang luhur. Mereka terlahir sebagai penuntun para pengikutnya agar mencapai nilai kesempurnaan hidup. Adanya mereka maka sosok nilai budaya Jawa bisa berkembang dengan baik, terarah, bijaksana dan mempunyai karakteristik sendiri. Mereka-mereka di antaranya itu adalah Suryo Mentaram (Ngelmu Mulur Mungkret), Panuntun Agung Sri Gautama yang nama aslinya Hardjo Saputra (Agama Sapta Darma), Ki Ageng Selo (Serat Pepali Ki Ageng Selo),dan lain sebagainya.
f. Pasangan merupakan tempat yang diletakkan pada leher bagian atas sapi yang merupakan tumpuan penyangga dari bajak. Dikatakan pasangan karena jumlahnya dua (sepasang) yang terletak pada kanan dan kiri. Tuhan telah menciptakan banyak hal yang bersifat seperti berpasangan, misalkan; pria-wanita, siang-malam, baik-buruk, panas-dingin, lahir-batin, surga-neraka dan lain sebagainya. Dalam ilmu budaya Cina dikenal Im-Yang (positip-negatif). Dengan adanya keadaan tersebut semestinya manusia sadar, bahwa memang sesuatu itu tidaklah bisa sama. Ketidaksamaan ini yang harus ditarik benang merah agar bisa didapatkan sebuah pengetahuan yang bijak. Kebijakan itu tentu diperoleh dari nilai keseimbangan. Segala sesuatu jika ditimbang-timbang dengan baik maka akan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Pada akhirnya keseimbangan bisa mencapai titik keselarasan, keserasian ataupun keterpaduan.
Manusia Jawa memaknai keselarasan itu sebagai daya kehidupan yang perlu ditimbang (hati-hati). Segala tindakan, ucapan, perilaku tentu harus diselaraskan dengan sebaik-baiknya. Orang Jawa tidak suka umuk (omong doang), sikap umuk ini yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sikap semacam itu bisa dikatakan tidak selaras. Termasuk gumedhe (sombong), golek menange dhewe (mencari kebenaran sendiri).
Coba bayangkan jika di dunia ini yang ada hanya panas saja, maka manusia tidak akan pernah merasakan yang namanya dingin. Begitu pula jika di dunia yang ada hanya pria saja atau wanita saja, maka ibaratnya dunia ini tidak akan bisa berjalan. Oleh sebab itu adanya sebuah keadaan yang berpasangan ini merupakan pengetahuan kebijaksanaan yang harus bisa dipahami. Nilai kebijaksanaan manusia Jawa berkenaan dengan kearifan, kebajikan, kecermatan, kecakapan, kecendikaan, dan kepandaian budi manusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya.
Menurut Saryono (2011;105) bahwa untuk mencapai manusia bijaksana, setiap manusia Jawa harus mengembangkan kedewasaan jiwa (kadewasan jiwa) dengan cara olah rasa dan olah budi. Taraf kedewasaan jiwa akan menentukan taraf kebijaksanaan manusia Jawa.agar dapat dicapai taraf kedewasaan jiwa yang tinggi, manusia Jawa antara lain harus mampu mengendalikan atau menguasai hawa nafsunya (mupus/mepes hawa nafsu; nutupi babahan hawa sanga), meningkatkan mutu nafsu (supiah, lawwamah, amarah, mutmainah), mengembangkan mutu kepribadian atau budi (mesu budi), dan meningkatkan mutu hidup agar terhindar ari aral dan menjadi suci (bekaning ngaurip lan tapaning ngaurip) dengan berbagai pengetahuan dan jalan , misalnya tarak brata, tapa brata, dan manekung. Dengan demikian setiap manusia Jawa akan mampu bersungguh hati atau bertepat janji (ber-budi bawaleksana, temen), bersikap dan bertindak adil atau tidak pilih kasih (sama beda dana dhendha), mengerti orang lain (pangerten), merasakan orang lain (bisa rumangsa), berlapang dada (lega, lila, legawa), bersikap dan berlaku rendah hati (andhap asor), dan bertenggang rasa dengan orang lain (tepa selira, mulat sarira, mawas diri). Disinilah dapat dikatakan bahwa nilai kebijaksanaan terjabarkan dan tereksternalisasi menjadi nilai ketepatjanjian, keadilan atau ketidakpilihkasihan, kemengertian, kebisamerasakan, kelapangdadaan ,kerendahhatian dan ketenggangrasaan. (Saryono2011;106).
g. Sawet yaitu tali yang terdapat pada kedua tuntunan untuk mengikat leher sapi agar tidak terlepas. Sawet dimaknai sewetahipun (seutuhnya). Manusia seutuhnya adalah manusia yang bisa menjaga lahir batinnya. Dengan begitu akan terjadi sebuah keseimbangan yang memunculkan sikap yang baik atau mulia dalah hidup dan kehidupannya. Lahir adalah sesuatu yang mudah dilihat oleh mata telanjang. Banyak orang mengatakan lahir itu sebagai jasmaniah. Kebutuhan jasmaniah manusia adalah kehidupan yang sehat dengan asupan gizi yang baik, menjaga kebersihan, dan menjaga kesehatan itu sendiri. Sedangkan batin sering dikatakan sebagai rohani. Kebutuhan rohani manusia adalah penyerahan diri pada Tuhan dan pemahaman nilai-nilai kerohanian yang diantaranya adalah olah rasa, olah batin, mesu budi dan lain sebagainya. Jika antara lahir dan batin mengalami keseimbangan dan wis jumbuh, gathuk, cocok maka sikap budi luhur manusia itu kan terlihat.
Akhlaknya akan menjadi lebih baik, pola hidupnya menjadi tenang. Ada ungkapan yang mengatakan “dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Pembangunan manusia seutuhnya tidak hanya memikirkan dari segi materilistik saja yang bisa menjebak pada sifat –sifat yang kurang baik. Orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya maka akan timbul sifat angkara murka, iri, dengki, srei, jail, methakil. Oleh sebab itu kehidupan di dunia ini harus selalu diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan rohani.
Akhir-akhir ini kita sering mendengarkan adanya krisis moralitas, krisis etika. Hal ini sebenarnya tidak terjadinya keseimbangan yang benar antara lahir batin. Pembangunan di bidang kerohanian dicekoki (dicampuri) oleh maksud dan tujuan yang tidak baik. Banyak nilai-nilai rohani dijadikan alat atau kendaraan untuk menutupi diri guna mencapai tujuan materialistik. Penyalahartian itu menyebabkan rusaknya tatanan di masyarakat. Sehingga orang-orang yang melakukan tindakan tersebut sebenarnya antara lahir dan batinnya masih belum seimbang. Pangolahing rasa, pangolahing budi masih jauh dari yang diharapkan. Sehingga untuk membangun manusia seutuhnya menjadi morat-marit.
h. Racuk adalah bagian paling ujung dari tuntunan (di depan pasangan). Racuk berarti ngerah sing pucuk (mengambil yang atas). Maksudnya manusia harus mencapai pada tataran yang tinggi. Dipandang dari sudut kerohanian tentu berkaitan kepada Yang Maha Tinggi atau Tuhan. Tuhan adalah segalanya bagi umat manusia, oleh sebab itu manusia selalu dituntut untuk berusaha mencapai nalai-nilai kesempurnaan dalam hidupnya. Sejak manusia sadar akan keberadaannya di dunia maka ia akan berpikir tentang hidup dan kehidupannya. Darma/kwajiban, maksud dan tujuan hidupnya, serta asal dan akhir dari kehidupannya. Darma/kwajiban merupakan hal yang harus dilakukan selama di dunia. Maksud dan tujuan adalah untuk mengisi keragaman dan perjalanan dari kehidupan di dunia agar bisa terselamatkan. Asal dan akhir dari kehidupannya (sangkan paraning dumadi) merupakan sebuah sebab musabab keberadaan di dunia dan setelah meninggalkan dunia.
Zoetmulder (1990) menjelaskan keberadaan adanya Tuhan dan adanya alam ciptaan pada umumnya atau adanya manusia pada khususnya, serta hubungan timbal balik antara semuanya. Gambarannya adalah kanyataan akan Tuhan yang hanya dapat dicapai melalui penaikan kembali ke Tuhan dengan mencapai kemanunggalan antara kawula dan Gusti. Dapat diringkas sebagai manusia di dalam Tuhan. Di sanalah tempatnya yang sejati, ke sana ia harus kembali, karena pada emanasi (pancaran) manusia seolah-olah berada di luar Tuhan. Maka dari itu, manusia Jawa kerap menggunakan istilah "mulih" atau kembali. Kembali menuju tempat asal-usul manusia. Meskipun begitu pada beberapa teks menggambarkan kemanunggalan Tuhan dan manusia bahwa Tuhan turun dalam diri manusia. Hal ini sering disebut sebagai Tuhan di dalam manusia. Hubungan ini kemudian mendapati sebuah hubungan manusia dan Tuhan yang saling membutuhkan.
______________________________
*) Tulus S atau Tulus Setiyadi, S.T.P. adalah alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Kegemarannya mempelajari budaya dan sastra ditekuni sudah sejak lama. Banyak bergabung dibeberapa sanggar kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Sering mengisi acara sastra ataupun budaya, baik di televisi, radio, paguyuban/sanggar, perguruan Budaya Jawa di Hotel Lorin Solo, kongres Bahasa Jawa di Hotel Marriot Surabaya dan Hotel Garuda Jogjakarta, serta seminar ataupun sarasehan. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa. Karya-karyanya dalam bentuk buku sudah puluhan judul dan beredar di masyarakat, baik di Indonesia maupun luar negeri. Juga belasan karya antologi bersama. Paguyuban/sanggar yang diikutinya antara lain; Pesaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani), Paguyuban Retna Dumilah (bidang kebudayaan), Paguyuban Pamarsudi Kasusastran Jawi Sedyatama, Sanggar Sastra Triwidha, Sembilan Mutiara (buku dan kesusastraan), Majelis Sastra Madiun, dll. Adapun buku-buku karyanya sebagai berikut; Bangsa Pemuja Iblis (antologi puisi), Surat Kerinduan, (antologi puisi), Sangkrah (antologi geguritan lan cerkak), Sang Guru (antologi cerkak), Kidung sukma Asmara (antologi geguritan), Daya Katresnan (antologi geguritan), Kawruh Urip Luhur Ngabekti (antologi geguritan), Serat Cipta Rasa (antologi geguritan mawa aksara Jawa). Narakisma mbedhah jagade kasusastran (antologi geguritan). Dongeng Kancil Kanggo Bocah (dongeng), Puspa Tunjung Taruna (esai), Pendekatan Nilai-Nilai Filosofi Dalam Karya Sastra Jawa (esai), Kembar Mayang (esai), Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa- Sumber Kearifan Lokal (esai), Ki ageng Sela Dan Ajarannya; Pendidikan Nilai Moral Dan Pembentukan Karakter (esai); Semar; Sebuah simbolisasi, Filosofi Dan Mistik Kejawen (esai). Makna Simbol Selamatan Kematian pada masyarakat Jawa (esai). Menelusuri Jejak Tradisi Membangun Jatidiri (esai). Uran-uran katresnan (novel). Keladuk Manis ing Salumahe Sambilata (novel). Juminem…dodolan tempe? (novel). Udan ing wanci ketiga (novel). Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis (novel), Gogroke Reroncen Kembang Garing (novel), Rumpile Jurang Katresnan (novel). Klelep ing Samodra Rasa (novel). Langit Mendhung Sajroning Pangangen (novel). Bersama Pak Tulus Ayo Belajar (motivasi). Aris (kumpulan cerkak). Sedangkan antologi bersama lainnya, seperti dibawah ini’; Antologi bersama; antologi Mangkubumen Sembilan Enam, Bulan Tuhan, Pelacur, Epifani Serpihan Duka Bangsa, Kemilau Mutiara Januari, Merangkai Damai, Pengembaraan Burung, Bunga Putra Bangsa, Indonesia di Titik 13 dll. Juga antologi cerkak mengeti HUT ke-35 Sanggar Triwida “Ngrembuyung”. Antologi cerpen “Negeri Kertas”. Antologi Geguritan Dinas kebudayaan Prov,DIY, Antologi geguritan “Sakwise Ismet lan Suparta Brata” Balai Bahasa Jatim, Antologi geguritan “Gebyar Kasusastran” Balai Bahasa Jatim. Antologi geguritan “Sor bumi sor kukusan.”
http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-dalam-sistem-mata-pencaharian-bagian-iii/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar