Sabtu, 14 Oktober 2017

BUDAYA TRADISI SELAMATAN (bagian pembuka)

Tulus S *

Upacara tradisi selamatan (slametan) ataupun gelar sesaji (sajen) bagi masyarakat Jawa seakan sudah menjadi pola kehidupan yang biasa dilaksanakan. Walau hal tersebut mengalami sebuah pergeseran bahkan pertentangan karena adanya sebuah perubahan dan pengaruh dari budaya luar. Sejak manusia Jawa lahir sudah diperkenalkan dengan tradisi-tradisi selamatan.
Mulai dari kelahiran (brokohan, sepasaran, piton-piton, selapan, setahunan), anak-anak (tetakan/khitanan), upacara perkawinan, masa kehamilan, sampai dengan kematian. Begitu pula dalam pola tradisi kehidupan masyarakat Jawa seperti pindah rumah, membuat rumah, tardisi bersih desa/nyadran, upacara-upacara di Keraton dan masih banyak lagi. Hampir perilaku atau kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat Jawa tidak  lepas didahului dengan tradisi selamatan.

Dalam rangka mencapai alam adikodrati, orang Jawa melakukan berbagai tindakan supranatural. Tindakan tersebut dilaksanakan melalui proses mistik. Dimana mistik merupakan proses pencermatan dunia batin, agar mampu memasuki dunia lain. Jika alam adikodrati itu bersifat abstrak, maka untuk masuk kesana juga perlu sikap abstrak pula yaitu secara mistik.

Proses mistik ada dua macam, yaitu: (1). Mistik yang dilakukan oleh perorangan. (2). Mistik yang dilakukan secara berkelompok. Pada umumnya, sistem mistik orang Jawa dilakukan secara berkelompok sehingga muncul berbagai aliran yang berbentuk paguyuban, organisasi dan perguruan. Berbagai aliran  penghayat mistik ini mempunyai keyakinan yang berbeda-beda terhadap hal yang dianggap gaib. Namun pusarannya tetap sama yaitu penghormatan terhadap roh atau yang gaib di alam adikodrati.

Selamatan (slametan) yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, merupakan adat yang tidak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa .Aktifitas selamatan bertujuan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari kenyataan ini manusia pada awalnya merasa tidak berdaya, kemudian meminta perlindungan kepada sesuatu yang memiliki kekuatan lebih, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Kegiatan yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itu kemudian disebut dengan “selamatan”. Jika pada masa animisme-dinamisme disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian pada masa Hindu-Budha diganti dengan nama-nama dewa-dewi, dan setelah kedatangan Islam diganti dengan nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya dan prinsip-prinsip Islam.

Dalam sudut pandang ontopologi, hakikat dari keselamatan yaitu sebagai wujud syukur, untuk mendapatkan berkah, selamat dan terhindar dari cobaan yang berat, mendoakan orang yang meninggal, sebagai rasa syukur, kehidupan masyarakat aman dan tenteram, terjaga dari malapetaka dan juga berfungsi sebagai (tolak balak). Secara ontologi selamatan mengandung unsur-unsur realisme, naturalisme, dan empirisme. Unsur realisme dalam selamatan yaitu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk menjalin sikap kekeluargaan terhadap masyarakat. Misalnya setiap hari kamis malam jumat, masyarakat melakukan pengkajian “Yasinan atau Tahlilan”.

Unsur naturalisme dalam selamatan yaitu menggunakan alam sebagai wujud syukur .Misalnya sesajen sedekah laut yang dilakukan masyarakat berbondong-bondong, upacara metri desa atau bersih desa dan lain-lain .Unsur empirisme dalam selamatan yaitu rasa bersyukurnya masyarakat kepada Tuhan. Dalam sudut pandang aksiologi, yaitu nilai kekeluargaan dan nilai kebudayaan Hindu dan Islam. Dalam nilai kekeluargaan dalam selamatan yaitu untuk menyambung hubungan kekeluargaan agar menyebabkan rasa kekerabatan antar masyarakat menjadi erat.

Sedangkan kebudayaan Hindu dalam keselamatan lebih cenderung ke mantra-mantra dan pujian terhadap dewa-dewa saat melakukan ritual, sedangkan kebudayaan Islam saat melakukan selametan lebih cenderung pada doa-doa yang sesuai dengan ajaran agama Islam, misalnya dzikir, membaca bismillah, tahlil dan atau yasinan. Hal ini menyebabkan sebuah alkuturasi budaya yang sangat unik. Selain itu, saat masa Hindu selametan merupakan yang bernilai ritual, yang diadakan pada petang hari di antara kaum lelaki mereka menikmati hidangan yang disajikan di atas lembaran daun pisang berupa nasi kuning, dan bertujuan untuk menjinakkan roh yang dianggap hadir. Bila roh itu sudah jinak maka seorang yang ikut selametan sudah di anggep “selamet”. Dalam Islam selamatan merupakan makan bersama yang mengundang masyarakat sekitar umumnya laki-laki, dengan doa. Hidangannya berupa nasi tumpeng dan bertujuan untuk kerukunan dan ketenteraman serta dengan berharap mendapatkan berkah dari Allah serta bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada Allah.

Clifford Geertz merupakan seorang peniliti yang memberikan sumbangan besar  terhadap sejarah peradaban Jawa, khususnya yang berlaku di daerah Mojokutho, Kediri Jawa Timur. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai arti selamatan dalam bukunya “ Agama Jawa “ ;Abangan, santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa. Geertz (1981;13) mengatakan bahwa selamatan upacara keagamaan yang paling umum di dunia. Namun istilah selamatan hanya ditujukan untuk upacara keagamaan khusus bagi orang Jawa. Selamatan dalam budaya Jawa melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Karena kesatuan itulah banyak pihak yang terlibat dalam upacara keagamaan ini, meliputi handai taulan, tetangga, rekan kerja, kelurga, sanak saudara, arwah setempat dan unsur-unsur lain. Jadi berdasarkan makna ini dapat diambil kesimpulan bahwa selamatan tidak ubahnya sebuah pesta. Hanya saja saja pesta itu dilakukan untuk tujuan serta harus mengikuti tata cara tertentu.

Menurut Rezim (2015;83) bahwa kata selamatan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Adapun makna dari selamat adalah keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Berdasarkan makna ini maka selamatan dapat diartikan sebagai kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun desa atau bahakan skala yang lebih besar.

Slametan merupakan hasrat mencari keselamatan dalam dunia yang kacau. (Mulder;2013;136). . dijelaskan pula bahwa kegiatan tersebut tidak ditujukan bagi sebuah kehidupan yang lebih baik, kini maupun di masa mendatang tetapi lebih ditujukan untuk memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala. Juga terlihat bagaimanapun bahwa manusia memegang peran aktif dalam memelihara tatanan ini dan mampu mempengaruhi arahnya. Hubungan sosial yang tertata baik menjadi sebuah sarana menuju dan sebuah kondisi untuk meningkatkankeadaan selamat.

Pergeseran tata laksana selamatan yang terjadi sekarang ini bisa berpengaruh terhadap nilai atau makna dari inti selamatan itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Jawa sekarang sudah tidak tahu ataupun tidak mau tahu tentang inti ajaran selamatan tersebut. Di kampung, saya sering melihat pergeseran nilai terjadi pada ubarampe (sesaji/peralatan) yang digunakan dalam upacara selamatan (slametan)  tersebut. Misalkan selamatan orang mati yang punya hajat tidak mengeluarkan sesaji atau ubarampe yang utama (baku) sebagai persyaratan upacara selamatan yang disebut ambeng. Mereka hanya memberikan berkat yang sudah diwadahi (dikemas) dalam bakul nasi dari plastik atau besek kepada para undangan untuk dibawa pulang. Saya kadang bertanya apa bedanya peringatan ulang tahun dengan tardisi  selamatan ?. Disini pemahaman masyarakat sudah mulai luntur  karena memang tidak mengetahui makna yang tersirat dalam simbol-simbol ambengan yang merupakan syarat baku dalam tradisi selamatan.

Pengenalan makna tradisi selamatan yang hanya pada kulitnya saja berpengaruh terhadap pola pikir generasi berikutnya. Mereka lebih menghendaki pola hidup yang dianggap praktis dan tidak mau ribet. Padahal bila digali lebih mendalam budaya peninggalan warisan leluhur berupa selamatan ini merupakan modal sosial dan memiliki nilai yang sangat besar bagi terciptanya kebersamaan, kekeluargaan, gotong-royong, guyub-rukun, saling mengharagai dan menghormati. Hal ini bisa dilihat dalam ajaran Memayu Hayuning Bawana yang meletakan dasar kehidupan manusia Jawa pada pola kehidupan bermasyarakat di dunia.

Sesaji atau sajen jika dipandang sebagai persepektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negative, sebagai biang kemusryikan (persekutuan Tuhan). Yang menjadi masalah, asumsi itu terjadi karena masing-masing pihak sering tidak paham pada esensi hidup. Benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini? Seyogjanya jangan terjebak oleh keterbatasan akal budi dan nafsu golek menange dhewe (mencari menangnya sendiri) dan golek benere dhewe (mencari kebenarannya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk ghaib. (Suwardi;2014;127).

Dijelaskan pula bahwa sesaji merupakan harmonisasi dalam dimensi horizontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia diantara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal budi dalam diri kita sendiri. Bila akal budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.

Sesaji dan ubarampe di dalam selamatan sebenarnya merupakan pengaruh dari tradisi lokal (Jawa) dan Hindu, Buda termasuk animisme dan dinamisme, yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Namun setelah Islam masuk maka kebudayaan itu mengalami pembauran lagi yang oleh para ilmuwan dinamakan sinkritisme. Sesaji ataupun ubarampe merupakan produk alkuturasi budaya, maka selamatan dapat digolongkan salah satu bentuk alkuturasi antara agama dan budaya lokal.

Terlepas dari dilaksanakan atau tidaknya sebuah tradisi selamatan kiranya masyarakat Jawa perlu belajar untuk mengetahui ajaran-ajaran yang diberikan para leluhur lewat upacara tradisi termasuk ubarampenya (perlengkapan;sesaji). Bahkan dengan adanya pengaruh agama tertentu tardisi-tradisi yang menyuguhkan berbagai macam sesasji dianggap syirik, dianggap dosa, dianggap bersekutu dengan setan dan lain sebagainya. Tentu itu tidak beralasan. Mereka yang beranggapan seperti itu karena tidak memahami tentang simbol-simbol tersebut dan bisa juga dipenuhi watak egoisme yang berlebihan. Ubarampe sesaji tidaklah lain sebagai ajaran yang luhur yang penuh dengan peradaban dan etika.

Permohonan yang tulus dan sumendhe (pasrah) kepada Tuhan sebagai manisfestasi rasa keihklasan untuk memberikan sebagian yang dimiliki kepada orang lain. Berbagi rasa baik kesedihan, kesenangan, kebahagiaan merupakan bagian dari tradisi selamatan . Hal itu ditunjukkan dengan adanya upacara selamatan kematian, upacara selamatan perkawinan, upacara selamatan syukuran dan lain-lain.  Masyarakat Jawa yang masih menganut tradisi selamatan ataupun yang setengah-setengah tentu tidak merasa terbebani dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk berbagi kepada yang lain lewat tradisi selamatan. Keihklasan itulah yang bisa memberikan rasa ayem tentrem sebagi hasil dari perbuatannya itu.

Menurut waktu pelaksanaan bahwa selamatan bisa diadakan pada waktu ; (1).Malam hari sebagai contoh selamatan kematian (ngintun leluhur), selamatan manggulan (menyambut upacara perkawinan). (2). Siang hari misalkan selamatan bersih desa, nyadran, methil (pethik padi), kelahiran dan lain-lain. (3) Ada selamatan yang berdasarkan penanggalan baik itu dilaksanakan pada siang hari atau malam hari, misalkan; tiron-tiron (memperingati hari kelahiran), maleman (memperingati penyatuan hitungan perkawinan yang pelaksanaannya dibarengkan dengan 10 terakhir hari puasa Ramadlan; misal malem 21, malem 23, malem 23 dan malem 29), Selamatan Suro’an (menyambut malam satu syuro) dan lain-lain.

http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar