Sabtu, 14 Oktober 2017

BUDAYA TRADISI SELAMATAN (bagian I)

Nilai Keselamatan Manusia Jawa
Tulus S

Kita sering mendengar  ungkapan suwargi  merupakan kalimat yang dipakai untuk mengawali nama atu sebutan  orang yang sudah meninggal dunia. Misalkan suwargi Rama Dirun, Suwargi Mbah Suto, Suwargi Eyang dan lain lain. Hal ini manusia Jawa berpikir bahwa orang yang telah meninggal dunia berada pada tempat yang menyenangkan, tempat yang tentram dan bahagia karena kata suwargi atau suwarga memiliki makna leksikal surga. Tidak mengherankan jika manusia Jawa mempunyai gegayuhan (cita-cita)  ingin berjumpa atau bersatu dengan Tuhannya. 

Hal ini sering kita dengar dalam pidato pada upacara kematian yaitu kondur ing alam kelanggengan (pulang ke alam abadi), wangsul dhumateng pangayunanipun Gusti (pulang kepangkuan Tuhan), mulih marang mulanira (kembali kepada asalnya), tinimbalan Gusti (dipanggil Tuhan). Pada nilai religious budaya Jawa nilai keselamatan berdimensi duniawi dan surgawi atau akhirati. Maksudnya manusia Jawa selalu mencita-citakan, mendambakan dan mengharapkan keselamatan baik pada hidup didunia maupun hidup sesudah mati. Upacara tradisi selamatan orang meninggal menggambarkan sebuah cita-cita menuju pada keselamatan dunia maupun akhirat. Dalam serat nitisruti (1994;10) ditegaskan bahwa keselamatan dunia perlu dijunjung tinggi (widada ing kadunyan supadi, bangkit dadya ruhuning jagad, mrih kaprapatan sakajate), sedangkan dalam siklus slametan diisyaratkan bahwa keselamatan sesudah hidup di dunia perlu diutamakan. (Saryono D,2011;50).

Konsep slamet; sugeng; rahayu; widodo; basuki menjadi hal yang penting bagi kehidupan manusia Jawa.  Tingkah laku, solah bawa, tindak-tanduk, pangucap , adat  (tindakan, perbuatan, kelakuan, ucapan, tradisi) selalau dalam rangka mewujudkan keselamatan dunia (memayu hayuning bawana).  Situs slametan (selamatan)  sering disebut sugengan atau wilujengan. Sehingga slametan orang mati pada umumnya untuk mengirimkan doa (kirim donga) bagi orang Jawa yang sudah meninggal  agar slamet di alam sesudah mati. Pengharapan keselamatan tersebut dilantunkan oleh pembawa doa (modin;kyai;sesepuh) dalam bentuk ujub.

Doa harapan tersebut kurang lebih sebagai berikut……..padhanga dalane, jembar- kubure, tinebihna ing neraka cinelakna surgane…… (semoga terang jalannya, luas tempatnya, jauhkan dari neraka dan ditempatkan pada surga….). Disamping itu ucapan muga-muga (mugi-mugi) Gusti paring keslametan, nyuwun slamet, nyangoni slamet, ngaturaken kasugengan, sluman slumun slamet, basuki langgeng, rahayu menunjukkan aktualisasi dan artikulasi nilai keselamatan yang rohaniah, spiritual, dan transendental; bukan sekedar  jasmaniah, sosial dan sekuler.

Begitu pula bila orang Jawa ketemu akan menanyakan keselamatannya’ sebagai berikut’; “ sugeng rawuhipun” kemudian dijawab “ awit pangestunipun sadaya sami rahayu”. Kata “rahayu” yang menjadi salam dari para penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga masyarakat Jawa merupakan sebuah doa tentang harapan keselamatan. Ketika penulis belajar pada Padepokan Gerinda Pancasila Mawahyu Buwana milik Romo Wisnoe Wardhana bahwa dalam kelompok tersebut telah mempunyai salam yang unik, yaitu “Hong Hulun Basuki Langgeng” kemudian dijawab “Basuki Langgeng” . Makna dari salam tersebut juga harapan tercapainya sebuah nilai keselamatan, baik di dunia maupun di alam setelah kematian.

Penting dan berartinya nilai keselamatan yang rohaniah, spiritual, profesis dan transendental  juga ditegaskan oleh banyak kitab mujarobat, primbon, serat, suluk dan babad. Misalnya Mojarobat Kesembuhan, Primbon  Betaljemur Adamakna, Primbon Ajimantrawara, Primbon Yogabrata, Primbon Rajahyogamantra, Serat Wedhatama, Serat Centhini, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Pesisiran, Suluk Wragul, Suluk Tuhu Linglung, Suluk Besi, Suluk Jalma Lewi, dan Suluk Selobrangti dan Babad Demak. Selain itu penting dan berartinya keselamatan bagi manusia Jawa juga tampak pada berbagai wejangan (wewarah) dan larangan (pepacuh) serta pantangan Jawa (wewaler) yang dimaksudkan sebagai tuntunan menuju keselamatan. (Saryono;2011;51). Sejalan dengan pendapat Pugiarto (1993;19) dapat dikatakan disini bahwa keselamatan atau slamet (sugeng) merupakan puncak kriterium keberhasilan masyarakat atau manusia Jawa.

Keselamatan menjadi hal pokok dalam pola hidup manusia Jawa. Dalam Serat Mega Mendhung (Tejasusastra;1970;43) tertulis; marmanira kudu bangkit, anyingkiri kabeh patrap, ingkang anyimpang karahayon, mrih lestari kaayoman, wahyuning kayuwanan, ayem tentrem tumaruntun, anak putu katumusan. Maksudnya adalah manusia harus bangkit, menghindari segala tindakan yang menyeleweng, agar selalu terlindung, sebuah kekuatan/keselamatan, kedamaian ketentraman sampai kepada anak-cucu dan keturunannya. Ini adalah pokok ajaran manusia Jawa yang selalu menekankan pada sebuah pola perilaku yang baik untuk mencapai sebuah nilai keselamatan. 

Menurut Serat  Jatimurti (1980;11-18)  manusia yang selamat dan sempurna dalam pertemuan dan atau persatuan persaksian atau wujud dengan Tuhan yang Maha Esa adalah manusia yang mampu mencapai keadaan atau kehidupan sejati atau ultim (kahanan jati, alam kejaten). Disini manusia selalu diliputi rasa tentram, bahagia, nikmat, dan bermakna; terbebas dari penderitaan, kesengsaraan, dan kejahatan.

Jalan penyatuan kepada Tuhan atau berusaha bertemu dengan Tuhan melalui berbagai macam jalan, misalnya mistik atau tasawuf dan kepercayaan-kebatinan. Intisari ajaran mistik kejawen adalah kemanunggalan manusia dengan Tuhan. Cara kemanunggalan ini diwujudkan dalam bentuk kepatuhan, pasrah (sumendhe), dan narima ing pandum.  Menurut budaya Jawa bahwa manusia yang sanggup  bertemu bahkan bersatu (manunggal) dengan Tuhan adalah manusia yang selamat dan sempurna.

Nilai keselamatan akan lebih lengkap bila didukung oleh nilai kesempurnaan. Dikatakan demikian karena karena manusia Jawa yang memiliki kualitas kesempurnaan secara relatife mencapai manusia yang selamat. Ngelmu slamet akan mudah diproleh oleh manusia yang selalu ngudi kasampurnan dan mencapai nilai kasampurnan itu.  Kesempurnaan yang dimaksud adalah wikan sangkan paran, mulih mula mulanira, manunggal, sebagai ciptaan kembali kepada Sang Pencipta.

Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang etis yakni manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara rohani dan jasmani, antara makhluk berdiri sendiri dengan khaliknya. Hal ini dikarenakan hidup manusia mempunyai tujuan terakhir, yang baik dan tertinggi dalam rangka mendapatkan kebahagiaan sempurna.

Nilai keselamatan dariapada nilai religi Jawa adalah berdimensi duniawi dan surgawi atau akherat. Makdsudnya manusia Jawa secara lahir maupun batin menghendaki adanya keselamatan dari hidup (berada di dunia) sampai dengan mati. Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku simbolis dan ritual manusia Jawa selalu dalam rangka (memperoleh) slamet (keselamatan). Dalam sebuah pengertian memayu hayuning bawana  tidak hanya mencari sebuah keindahan dalam mencari keselamatan di dunia atau menjaga sebuah keseimbangan dan keselarasan hidup saja tetapi apa yang dilakukan selama di dunia harus bisa dipertanggungjawabkan keselamatannya sampai setelah hidup.

Ritus slametan (wilujengan, sugengan) yang jenisnya sangat beragam menarik pemerhati dan peneliti budaya Jawa merupakan manifestasi dan artikulasi konsep dan arti slamet dan sugeng yang menjadi intisari (galih) nilai keselamatan. Selamatan orang mati yang telah berkembang dan masih tumbuh saat ini adalah sebuah harapan agar yang mati juga diberi keselamatan di alam kematian dengan jalan dikirim doa oleh para keluarga dan kerabat serta tetangga. Begitu juga brokohan (slametan kelahiran) merupakan ungkapan rasa syukur pada Tuhan atas keselamatan dari ibu dan anak yang baru dilahirkan. Nilai kesempurnaan akan mendukung atau menyangga daripada nilai keselamatan, karena bagi manusia Jawa yang memiliki kualitas sempurna atau kesempurnaan secara relatif menjadi manusia selamat.

Selain itu manusia yang berkualitas sempurna akan mampu memperoleh pengetahuan keselamatan (ngelmu slamet). Dalam serat Serat Jatimurti 1980) kesempurnaan berarti awas marang kang ngrasa, ora korup marang rasane, luwih-luwih marang kang dirasa (awas kepada yang empunya merasa, tulus bersih terhadap rasanya, lebih-lebih kepada yang dirasakan). Pengertian tersebut mengandung kesempurnaan sebagai manusia akan mengantarkan manusia Jawa menuju ke kesalamatan.  Disini kesempurnaan manusia menjadi semacam conditiosine quanon untuk meraih keselamatan; bahwa manusia Jawa tidak akan selamat bertemu dan atau bersatu dengan Tuhannya jika dia tidak menjadi manusia sempurna.

Dalam kebudayaan Jawa keempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan Sangkan paran (Abdullah Ciptoprawiro;1886;82). Kesempurnaan dihayati dengan seluruh kesempurnaan cipta, rasa, karsa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang sering menyebut mulih mula mulanira atau meninggal. Manusia telah kembali dan manunggal dengan penciptanya, manunggaling Kawula Gusti.  Manusia sempurna memiliki kawicaksanan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu atau kawaskitan.  Menurut Heniy (2006;366) istilah lain dari dari ilmu kasampurnan yaitu ilmu kasunyatan, ilmu makrifat, ilmu tuwa, dan ilmu sangkan paran.

http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar