Slametan Sebagai Inti Agama Jawa
Tulus S
Slametan atau selamatan merupakan sebuah wahana sebagai bentuk untuk mencapai keselamatan baik secara pribadi maupun kelompok. Slametan sebagai tindakan ritual yang memuat pesan ajaran memayu hayuning bawana (mencari keselamatan dunia). Orang Jawa percaya bahwa ada sebuah kekuatan adikodrati di luar kemampuannya. Dengan cara mengadakan selamatan akan terjadi komunikasi, interaksi, kontak secara rohaniah kepada kekuatan tersebut. Slametan merupakan bentuk ritual mistik yang di dalamnya kaya pekerti simbolik. Yakni berupa inti religious Jawa. Sebagai inti religious Jawa slametan memuat konsep sentral bagi semua mistisme Jawa, sebagaimana terkandung dalam kalimat sangkan paraning dumadi (asal mula tujuan hidup). Maka segala perilaku slametan selalu tertuju pada ada yang sempurna.
Religi adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung dari Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan yang sejati dari manusia, bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk memperoleh keselamatan itu dan karenanya ia menyerahkan dirinya kepada_Nya. (N. Driyakara S,J;1977;31).
Koentjoroningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi” menjelaskan bahwa semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat.
Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia solah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagmaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga usnur lain, yaitu (i) sistem keyakinan; (ii) sistem upacar keagamaan; (iii) suatu umat yang menganut religi itu.
Sistem kayakinan secara khusus mengandung benyak sub-unsur lagi. Dalam rangka ini para ahli antroplogi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan mati’ konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tentang riwayat-riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.
Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi ialah:
(i)tempat upacara keagamaan dilakukan;
(ii)saat-saat upacara keagamaan dijalankan;
(iii)benda-benda dan alat-alat upacara;
(iv)orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Aspek yang pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek ke-4 adalah aspek yang mengani para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.
Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:
i.bersaji,
ii.berkorban;
iii.berdo’a;
iv.makan bersama makanann yang telah disucikan dengan do’a;
v.menari tarian suci;
vi.menyanyi nyanyian suci;
vii.berprosesi atau berpawai;
viii.memainkan seni darama suci;
ix.berpuasa;
x.intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk;
xi.bertapa;
xii.bersemedi.
Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan do’a.
Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi, adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun dalam kehidupan sehai-hari; dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.
Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem ilmu gaib, atau magic, pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Kecuali itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat); ada peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di mana upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib seringkali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya; orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekuatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.
Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada upacara yang bersifat religi, dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri sama sekali kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri samasekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain samasekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ia capainya. (Koentjoroningrat,1986).
Sistem religious yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib. Sistem religious ini melaksanakan dan melambangkan , menyimbolkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan atau behavior manifestation dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara-upacara yang bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti misalnya; berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari drama suci, berpuasa , bertapa, bersamadi.
Acara-acara dan tata urut daripada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan manusia dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia. Apalagi peralatan dari upacara seperti misalnya gedung pemujaan; masjid, gereja, pagoda, puri dan sebagainya, patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyi-bunyian untuk membuat musik suci; orgel, gendering, gong, seruling, oleh karena itu merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun demikian upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keagamaan.
Di sinilah masuk komponen pertama ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu suatu aktivitas yang keramat. (Koentjaraningrat dalam Heru;148). Jadi jelaslah bagaimana kedudukan simbol atau lambang dalam religi., dari keempat komponen dalam religi yaitu sebagai alat atau perbuatan dalam upacara religious. Maka kedudukan simbol atau tindakan simbolis dalam religi adalah merupakan relasi (penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religious lahir dan batin. (A.H. Bakker, 1978;97). Sedangkan tindakan simbolis dalam upacara religious merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunikasinya dengan Tuhan.
Manusia Jawa berpandangan bahwa dunia ini adalah sebuah simbolisme dan melalui simbol-simbol itulah manusia akan bisa berpikir tentang kondisinya dan berkomunikasi dengan Tuhan. Zoetmulder (1991;245) mengatakan bahwa dalam serat Centhini tertulis “ Jika engkau ingin menembus realitas, masuklah kedalam simbol”. Ungkapan ini sekaligus menandai bahwa agama itu sebuah simbol, sebagaimana digagas oleh Geertz (1973), (Suwardi;2012;25). dalam berbagai aspek agama Jawa pun jelas sebuah simbol. Penghayatan simbol amat diperlukan dalam menjalankan agama Jawa.
Agama Jawa memang khas dalam membangun simbol. Simbol-simbol tersebut harus dipahami maknanya dengan sebaik-baiknya sehingga bisa ditemukan kebenaran yang hakiki. Simbol-simbol itu biasanya dipoles, diobsesikan, diimajinasikan sesuai dengan keinginan. Orang Jawa yang nyantri dan abanganpun akan kaya penghayatan terhadap agama Jawa. Bila orang Jawa mampu merasakan sendiri hingga sadar kosmis, dirinya akan dipandang sempurna. Kondisi yang demikian itu sekaligus menegaskan bahwa agama itu adalah simbol. Agama Jawa adalah sebuah simbol yang kaya akan makna. Manusia Jawa mempunyai sifat Semu, karena itu setiap langkah berkaitan agamapun juga digambarkan dalam bentuk simbol.
Dalam acara kenduri biasanya seorang modin (pembaca doa) merapalkan mantra atau doa slametan tersebut yang disebut ujub. Dalam ujub tersebut seorang pembaca doa menyampaikan pesan tentang tujuan slametan dari yang punya hajat, menerangkan makna atau simbolik dari ubarampe slametan tersebut. Namun hal tersebut memang sekarang jarang orang yang bisa menerangkan tentang simbolik-simbolik tersebut secara rinci. Banyak dijumpai karena pengaruh alkutulrasi ataupun asimilasi agama maka ujub disertai bahasa Arab.
Dari sudut pandangan teoritis, unsur yang paling menarik dari simbolisme slametan tidak semata-mata polisemik dalam konteks simbolisme warna dari Turner (1967) dalam ( Endra; 2013;102). Dikatakan; kini kita cakup akrab dengan gagasan mengenai suatu simbol yang menyelimuti dan bahkan bermakna kontradiktif dalam konteks yang berbeda diantara orang-orang yang memiliki ideologis bersama. Saya menguraikan suatu hal yang lebih kompleks; diversitas ideology yang terkandung dalam rangka yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada orang Tengger , Jawa Timur; tidak ada khotbah menyertai upacara, tidak seorangpun yang menyinggung “ eksegesis unsur demi unsur” dari simbolisme ritual. Kerapkali tokoh agama menyelenggarakan ritual komunal sendirian. Keefektifan ritual jarang tergantung pada kehadiran kongregasi aktif ( Hefner;1985;20). Saya pikir gagasan Hefner ini, menandai bahwa slametan juga memiliki kebutuhan personal. Orang yang telah menjalankan slametan, batin merasa senang dan sempurna. (Endra ;2013;103).
Ayu Sutarto (2011;41) mengungkapkan tentang tardisi ritual masyarakat Tengger yang disebut Entas-entas. Tradisi tersebut merupakan salah satu bentuk upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia. Upacara ini diselenggarakan oleh masyarakat Tengger yang bertempat tinggal didaerah dataran tinggi Tengger, yang secara administatrif berada dalam naungan empat kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. Upacara ini dimaksudkan untuk mensucikan roh orang yang telah meninggal dunia agar dapat masuk surga atau nirwana. Upacara ini diselenggarakan pada hari ke-1000, dihitung dari hari pertama kematiannya. Dalam tradisi Jawa upacara semacam ini nyewu. Bebanten upacara entas-entasan ini dipimpin oleh dukun, didampingi legen dan sesepuh serta beberapa orang kerabat yang berhajat. Makna upacara ini sebagi persembahan kepada Sang Hyang Widhi, memohon keselamatan dan memohon agar niatnya terkabulkan.
Sebuah agama tentu mengajarkan sebuah kedamaian, ketentraman dengan berusaha sebaik mungkin mencari kesempurnaan hidup agar tercapai nilai selamat. Baik itu keselamatan yang berada didunia maupun keselamatan setelah didunia. Jika mengingat tiga ajaran Jawa yaitu; Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti dan Memayu Hayuning Bawana ini merupakan sebuah bentuk ajaran untuk menuju kasampurnaning urip. Sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan hidup) merupakan ajaran bagaimana manusia itu berasal dan tujuannya/akhirnya. Dari tidak ada menjadi tidak ada pula (saka ora ana bali marang ora ana; innallillahi wa inalillahi ra’jiun).
Saya sering bertanya ataupun bercerita kepada kawan-kawan; apakah ketika masih berumur tiga tahun masih ingat maka mereka bilang ingat-ingat tidak. Kemudian saya bertanya kembali apakah ketika berumur satu atau kurang dari satu tahun masih ingat mereka bilang tidak ingat. Dengan begitu mereka semakin kebelakang semakin tidak mengingat tentang dirinya. Pertanyaanpun saya lanjutkan apakah ketika dalam kandungan ibu juga ingat tentu mereka bilang tidak ingat sama sekali, dan ketika saya bertanya sebelum kalian dibuat oleh bapak-ibumu kamu berada dimana. Merekapun tentu juga tidak tahu. Ini merupakan gambaran bahwa kehidupan manusia itu berputar (cakra manggilingan).
Ketika manusia memasuki usia lanjut maka sifat pikun, lemah akan terjadi (seperti sifat anak-anak ataupun bayi). Kemudian setelah itu mengalami kematian untuk kembali kepada Maha Pencipta. Itulah sebenarnya siklus kehidupan manusia. Oleh sebab itu ketika diberi kesempatan untuk hidup di dunia manusia harus bisa memayu hayuning bawana. Karena kehidupan itu sebentar ibaratnya mampir ngombe (hanya untuk minum) maka tugas atau kewajiban manusia selama hidup di dunia harus bisa menjaga keselarasan hidup, keseimbangan hidup agar tercapai rasa damai, ayem-tentrem. Itulah darma yang harus bisa dicapai oleh manusia untuk memperoleh sebuah keselamatan. Semua memang tidak gampang ibaratnya sebagai nahkoda yang mengendalikan kapal di tengah laut. Rasa eling lan pasrah terhadap Gusti sebagai bentuk ajaran manunggaling kawula lan Gusti. Hubungan kerohanian antara umat dan Tuhannya dapat dilihat dalam praktek-praktek mistik kejawen termasuk upacara slametan.
Kesemuanya itu tak lain adalah menuju pada sebuah kesempurnaan hidup.Sangkan-paran memang suatu proses perjalanan yang pelik. Dikatakan pelik karena didalamnya terkait dengan proses perputaran hidup yang disebut cakramanggilingan. Tuhan yang memutar cakra (roda hidup) itu dan manusia tinggal mengikuti dari sangkan menuju paran (dari asal mula menuju tujuan akhir). Adanya ajaran bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah "mampir ngombe" (singgah untuk sekadar minum), bagi orang Jawa dimaknai bahwa sifat duniawi adalah sementara, "terminal" menuju sangkan paraning dumadi.
Dalam perjalanan itu, orang Jawa perlu melalui tingkatan-tingkatan guna mencapai kesempurnaan hidup, yaitu syariat, tarekat, hakekat dan makripat. Dengan cara itu, orang Jawa akan kembali dan bersatu dengan Tuhan. Orang yang menganut paham kejawen atau dalam alam pikiran Jawa, mengungkapkan bahwa Tuhan adalah asal-usul semua yang ada di dunia ini, dan ke Tuhan pula semua itu akan kembali. Sikap orang Jawa dalam memandang dan mengalami kehidupan mereka, sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Konsepsi yang satu dimensional dan monolitis itu paralel dengan cara berpikir yang tidak mendiferensional antara isi dan bentuk, misalnya perbedaan prinsipal di antara macam-macam kelas gejala seperti objek/subjek, simbol/benda, hidup/mati, Kawula-Gusti, ide atau hal, dan sebagainya tidak dipikirkan, dan semuanya disederhanakan sampai terjadi hubungan mitologis.
Dengan demikian cara berpikir orang Jawa yang tercermin dalam alam pikiran Jawa adalah penyatuan dan penyelarasan semua gejala. Barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat, dan juga selaras dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka ia akan mengalami ketenangan batin. Untuk itulah kehidupan dalam masayarakat Jawa telah dipetakan dalam berbagai macam peraturan, seperti tatakrama (kaidah dalametika Jawa), adat/tradisi (mengatur keselarasan masyarakat), agama (mengatur hubungan formal dengan Tuhan), sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati), dan prasaja (bersahaja).
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini. Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula dan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba) terhadap Gustinya (Sang Pencipta).
Hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia, dalam arti insan kamil. Sebaliknya manusia digambarkan sama atau mirip dengan sifat-sifat Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah hidup Jawa dinamakan antropomorfisme (Simuh;1988;299). Falsafah semacam ini banyak mewarnai agama Jawa, sehingga pencarian diri terus menerus pada akhirnya akan mengenal Tuhan. Sebaliknya ketika orang Jawa buta terhadap dirinya, tidak mau melek pada identitasnya dan bahkan menginjak-injak dirinya, akan jauh dari Tuhan. Dengan kata lain, orang yang demikian akan kesulitan ketika harus mencapai manunggaling kawula-Gusti. (Endra;2012;106).
Perwujudan makna manunggaling kawula Gusti, menurut Subagyo (1989;52) dalam Suwardi (2012;106) dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu; (a) tipe ethis artinya pada tipe ini perwujudan makna manunggaling kawula Gusti dengan harapan adanya manusia yang waskitha dan susila. Harmonitas antara suara batin, dengan laku amalannya menjadi titik sentral orientasi dharma bakti dalam kehidupan sosial. (b) tipe kosmologis, artinya terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan olah batinnya, yaitu peleburan diri kedalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi individualitasnya.
Tindakannya untuk membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil, menuju pada kondisi eksis-tensial transenden, sehingga tercipta kesatuan mutlak. Secara emanantif manusia dilukiskan sebagai percikan cahaya dan akan kembali keasal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yaitu Dzat kosmos yang Illahi, Adikodrati. Aku palsu yang suka melibatkan pada soal-soal duniawi semu dilenyapkan. Akhirnya tercapailah kebebasan batin paripurna. Diri materiil dimatikan secara maknawiyah, mati sajroning ngaurip. Diri materiil ditingkatkan menjadi diri mutlak yang identik dengan ada mutlak atau kenyataan hidup; (c) tipe theologies, artinya mirip dengan tipe kosmologis. Hanya tipe theologi ini banyak menggunakan istilah-istilah yang berasal dari kitab suci dalam ajaran para Nabi.
Pada konsep tipe ethis (a) Endrswara berpandangan bahwa dalam agama Jawa merupakan upaya moral kearah memayu hayuning bawana yang disebut budi luhur. Ketika orang Jawa arif (wicaksana), berbuat dengan nuansa budi luhur sebenarnya jelas dilandasi oleh suara Tuhan atau Tuhan lenggah dalam dirinya. Pada saat itu tindakan menjadi cocog atau nuju prana (kasinggihan). Tindakan yang benar-benar singgih (becik) ini secara etis sesuai dengan Tuhan, seperti kesesuaian anak kunci dengan lubangnya.
Dari konsep diatas saya memahami bahwa yang menjadi nilai sebuah harmonitas antara suara batin, dengan laku amalnya yang menjadi titik sentral orientasi darma bakti dalam kehidupan sosial tergambar dalam upacara selamatan. Dimana antara niat dari yang mempunyai hajat kemudian dilaksanakan dengan mendatangkan beberapa orang serta ubarampe yang dibutuhkan. Ini adalah cara menunjukkan harmonitas tersebut dalam konsep ethis tadi. Sebuah tindakan yang bijaksana dan berbudi luhur dimana manusia Jawa menjaga kosmos antara Tuhan , antara manusia, antara alam atau lingkungan.
Sedangkan pada tipe kosmologis (b) ini merupakan sebuah cara untuk ber-ngelmu yaitu mencari sebuah pengalaman hidup dalam mengolah batiniah yang disebut lelaku. Masyarakat Jawa tidak asing lagi dengan namanya lelaku. Jika kita pada bulan Suro, malam Jumat Kliwon, malam Jum’at Legi, malam Selasa Kliwon atau hari-hari tertentu banyak kita jumpai beberapa orang yang melakukan tirakatan dibeberapa tempat seperti makam, sungai, hutan dan tempat-tempat lain yang dianggap mempunyainilai sakral. Selain itu ada beberapa orang yang melakukan lelaku dengan puasa, bersemedi, atau semacamnya. Tentu ini adalah sebuah cara melepas ego (diri) dari ke-akuan, yang kesemuanya terpusat pada kepasrahan kepada Gusti atau Tuhan. Lelaku –lelaku tersebut merupakan bagian dari usaha kemanunggalan antara kawula dan Gustinya dalam agama Jawa.
Pada konsep theologis (c) menurut Endraswara konsep ini banyak dilakukan oleh para pelaku tasawuf, yang bergerak dibidang Islam Jawa dan sufisme Jawa. Biasanya tipe ini hanya menyebut manunggal dalam kategori “dekat” (wahdatul suhud). Paham ini biasanya diikuti oleh orang Jawa yang dalam istilah Geertz disebut santri. (Endraswara;2012;107).
http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar