Tulus S
Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa dikenal ; sinamun ing samudana, sifat semu, papane rasa pangrasa. Maksudnya adalah setiap pola hidup dan kehidupan dalam beraktivitas hampir selalu menggunakan simbol-simbol. Tindakan penuh rasa pangrasa (perasaan), perbuatan tidak semata-mata (samar/semu). Menurut Suwardi bahwa simbol –simbol itu merupakan gambaran sikap, kata-kata dan tindakan yang abstrak, pelik dan wingit.
Para penganut mistik dalam muslim Jawa meyakini bahwa berbagai aktifitas yang mempergunakan simbol-simbol ritual serta spiritual tersebut bukanlah suatu tindakan yang mengada-ada dan kurang rasional. Sholikin (2009;19) bahwa bahawa di dalam bahasa akhir-akhir ini bukanlah termasuk perkara bi’dah, dikarenakan dibalik semua ritual tersebut terkandung makna sebagai salah satu upaya menyingkirkan setan yang menggoda manusia. Memang harus diakui bahwa sebagian simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindi-Jawa, Budha Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultur mistik. Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkritisme tersebut juga terlihat dengan di antaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan, yang sebagian oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (tercapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.
Ungkapan wong Jawa anggone semu atau samar, sangat dikenal dalam etika masyarakat Jawa yang disebut ulas-ulas. Hal tersebut juga terjadi dalam pola upacara-upacara tradisi di masyarakat. Semu menggambarkan bahwa manusia Jawa tidak hanya menampilkan sesuatu dalam bentuk wadhag (kasat mata). Penampilan manusia Jawa penuh isyarat atau sasmita. Banyak hal yang terselubung menggunakan tanda atau perilaku yang khas. Misalkan mengapa orang Jawa menggunakan keris dibelakang bukan didepan, dikarenakan manusia Jawa tidak ingin semata-mata memamerkan kekuatan atau kelebihannya. Sikap andhap ashor (merendahkan hati) sangat dijunjung tinggi. Begitu pula dalam pelaksanaan tradisi seperti upacara pengantin, selamatan, tedhak siti dan lain-lain. Semua penuh sasmita yang sering disebut simbolisasi.
Sifat manusia Jawa yang demikian biasanya muncul dalam usaha mendidik atau menyampaikan gagasan-gagasannya kepada orang lain secara tidak terus terang, melainkan menggunakan lambang-lambang atau simbol budaya. Kenyataan seperti ini dipengaruhi oleh sikap hidup manusia Jawa yang dalam menyatakan suatu sikap lebih suka dengan bahasa simbol atau sasmita. Sehingga simbol atau sasmita itu kadang sukar untuk dipahami maksudnya. Masyarakat tradisional Jawa (dahulu) sering mengaktualisasikan sikap dan perilaku hidupnya kedalam wujud yang tidak jelas (disamarkan). Ajaran-ajaran moral yang menyangkut sikap hidup khas Jawa selalu dirahasiakan (tidak terang-terangan). Sistem simbol itu juga tidak terlepas dari sistem sosial, gaya, hidup, agama dan mobilitas sosial.
Budaya semu berarti penuh simbol yang di dalamnya banyak menampilkan makna yang harus bisa diuangkapkan. Menurut Suwardi (2012;25) bahwa simbol dan ungkapan sebagai manifestasi pikiran, kehendak dan rasa jiwa yang halus. Segala perilaku dan sikap yang terbungkus dengan semu itu, diupayakan agar dapat mengenakkan (memberi rasa nyaman) sesama hidup. Hal-hal yang dianggap semu itu sebenarnya sangatlah jelas untuk dipahami. Karena masing-masing pihak pemakai simbol telah paham dengan apa yang disemukan itu. Adapun bagi yang belum bisa memahami terhadap hal yang semu, diharapkan untuk bisa mempelajari, menyelami dan menangkap makna dibalik kesemuan (simbol) tersebut.
Manusia Jawa yang telah mampu membaca simbol atau kesemuan berarti tergolong jalma limpat seprapat tamat. Maksudnya, orang tersebut telah mengetahui pesan apa pun meskipun hanya berupa isyarat halus. Orang seperti ini tidak hanya menggunakan nalar (logika) saja namun harus bisa mengolah rasa. Rasa akan menghidupkan kejiwaan, sehingga naluri akan bergerak. Menurut Suwardi (2012;26) bahwa rasa Jawa akan memekarkan keiinginan dan daya intuisi sejati. Oleh sebab itu Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama menyebut orang semacam itu “ kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis , ning ning rasa tumlawung”. Maksudnya orang yang telah mampu membaca isyarat, akan tahu pesan terselubung dan dia itu paham atas rasa (Jawa).
Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam sikap dan tindakan menggunakan kaca batin. Tak mungkin segala hal harus dikatakan atau diwujudkan dalam gerak, cukup dengan tanda-tanda atau sismeotik tertentu. Yang penting dalam komunitas Jawa terjadi komunikasi yang lancar, sehingga pemakaian rasa halus tak menjadi masalah. Dijelaskan pula bahwa penggunaan semu sekaligus juga menandai tingkat penggunaan bahasa sebagai cermin budaya. Semakin hebat penguasaan bahas dan budaya, maka semu (lambang) yang digunakan dalam hidupnya semakin rumit pula. Yang menarik semakin rumit dan halus simbol atau semu yang dipergunakan, juga akan mendongkrak strata sosial orang Jawa itu sendiri. Karena itu dalam kehidupan orang Jawa sering ada semacam “perlombaan” pemakaian semu tersebut. Karena bernama “lomba’ tentu masing-masing saling mencari keunggulan. Anehnya mereka selalu berasumsi bahwa semakin pelik penggunaan lambang dianggap paling halus dan lebih unggul. Akibatnya pemakaian semu yang dibalut dengan rasa Jawa semakin rumit dan menarik.
Laku mistik kejawen termasuk upacara selamatan yang dilaksanakan dalam tempat, tata cara dan waktu yang spesifik, jelas terdapat macam bentuk kiasan budaya yang tidak wantah (jelas). Bahkan hampir semua laku budaya yang ada dalam ritual merupakan serentetan simbol-simbol budaya spiritual. Simbol-simbol budaya ini digunakan untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pemikiran yang bersifat transendental.
Berbagai bentuk simbol budaya ini dihadirkan mulai dari ritual permulaan sampai akhir yang merupakan kesatuan utuh. Arah dari aneka ragam simbol selalu mengacu pada hubungan yang dimaksud adalah laku manusia untuk manunggal (dalam arti mendekatkan diri) kepada Tuhan. Dalam laku menuju manunggaling kawula Gusti ternyata harus melalui berbagai proses dan liku-liku perjalanan hidup yang penuh dengan simbol.
Dalam upacara slametan sering menggunakan sesaji (sajen) yang berupa tumpeng, ambengan, jajan pasar, jenang bubur, kelapa, pisang dan lain-lain. Semua tak lain adalah sebuah simbol pengharapan. Prinsip utama menjalankan slametan adalah penataan kembali hubungan kosmos. Secara simbolis slametan adalah menginginkan sebuah keseimbangan, mengatur dunia, melakukan darma yang bertujuan untuk keselamatan baik secara lahir maupun batin.
Bermacam sesaji yang diikutkan dalam perlengkapan upacara selamatan merupakan representasi suatu keinginan. Berbagai sesaji telah menciptakan kerangka dan struktur yang menjadi landasan interpretasi berbagai model konsep yang dapat dijalin. Sehingga keterkaitan dari berbagai macam sesaji merupakan sebuah petuah atau wejangan sebagai ajaran hidup. Sesaji bisa mewakili doa karena terdapat makna daripada lambang-lambang yang terdapat pada sesaji itu sendiri.
Simbol-simbol ritual yang berupa sesaji merupakan sebuah aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Gusti (Tuhan). Upaya pendekatan melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Sesaji juga merupakan wacan simbol yang digunakan sebagai srana (alat) untuk bernegosiasi spiritual kepada hal-hal yang gaib. Misalkan pada upacara resepsi perkawinan masyarakat Jawa. Maka yang punya hajat melakukan peletakan bermacam sesaji pada setiap tempat yang dianggap perlu, harus atau wajib. Tempat-tempat tersebut misalnya ; senthong (kamar), punden, sendang, sumur, tungku tempat memasak dan lain-lain. Dimaksudkan agar cara demikian tidak mengalami gangguan oleh makhluk-makhluk halus yang bersifat jahat atau jail. Kepercayaan terhadap roh atau makhluk halus seperti dhanyang sering diwujudkan dalam bentuk slametan.
Kita sering mendengar othak-athik gathuk, kerata basa, jarwadosok dan lain-lain yang kesemuanya adalah sebuah permainan kata yang mengacu daripada makna benda itu sendiri. Masyarakat sering mengambil kata-kata tertentu atau suku kata tertentu dan membangun sebuah etimologi atau menemukan dalam skema pikiran orang lain kata kunci yang mengandung persamaan bunyi akhiran. Misalkan kupat (ketupat) diartikan laku papat, hal ini bisa dimaknai dulur papat atau empat nafsu yang melekat manusia. Empat nafsu tersebuat adalah; sofiyah, amarah, lauwmah dan mutmainah. Kerata basa seperti numerology adalah suatu cara menghubungkan aneka ragam dunia dan membangun hubungan-hubungan diantaranya. Barangkali orang mengaku mengenal hubungan-hubungan ini, karena hubungan-hubungan ini dirasakan nyata, bukan khayalan. (Endra;2013; 106).
Dalam kenyatan sasaran diskusi mistikal ini adalah menunjukkan keterkaitan antara berbagai unsur, dalam rangka menunjukkan “kosmos adalah satu komunitas” (Pigeaud;1977;65). Kedua teknik interpretasi-numerologi dan kerata basa mengandung efek sintesis atau sinkretisasi materi yang berlainan melalui identifikasi unsur persamaan. Prosedur ini juga memungkinkan keanekaragaman pendapat dan interpretasi dalam bahasa ritual bersama. (Suwardi;2013;107). Bahwa slametan terdiri dari makna-makna yang berbeda-beda adalah persoalan perbedaan interpretasi. Makna suatu simbol tergantung pada tingkat strategi apa seseorang menggunakan dalam pembicaraan. Dalam berbagai hal orang bisa mengungkap atau mengupas sebuah simbol dengan pengertian masing-masing selama masih dalam taraf kebenaran. Persetujuan tak langsung atau kesepakatan bersama dalam menyatakan makna simbol merupakan hal yang biasa terjadi dan dibenarkan oleh sebuah masyarakat. Simbol slametan yang beraneka warna itu merupakan gambaran jiwa dan kolektif yang sudah berjalan secara turun temurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar