Doa dalam Selamatan
Tulus S
Doa merupakan ungkapan hati yang mengandung harapan yang kadang terucap maupun hanya dalam batin. Manusia Jawa mengatakan donga (doa) ; ndendonga (berdoa). Dalam upacara selamatan donga (doa) ditujukan kepada Sang Pencipta; Tuhan; yang bersifat Adikodrati; roh leluhur atau kekuatan diluar manusia yang bersifat gaib. Apakah roh leluhur atau yang gaib benar-benar mendengar sambutan dan doa kita, ini sebuah kontroversial. Kematian seseorang oleh masyarakat Jawa dianggap kembali pada alam keabadian ( bali mring alam kelanggengan).
Kalimat kondur mring alam kelanggengan adalah salah satu istilah yang tepat untuk memaknai arti sebuah kematian. Hal ini orang yang telah meninggal sukmanya telah menyatu kembali kepada Gusti Sing Gawe Urip (Tuhang yang Maha Hidup). Namun demikian dengan menjalankan doa maka setidaknya ada sebuah perjalanan batin kepada yang menjadi tujuan. Keihklasan dan kesungguhan batin dalam menyampaikan doa sangat berpengaruh kepada hasil akhir yang didapat. Hasil itu bisa berupa sebuah kedamaian (ayem-tentrem) yang menjadi tujuan hidup orang Jawa. Ungkapan doa pada saat slametan menjadi bukti bahwa ada kemauan keras manusia Jawa agar hidup selamat.
Di dalam selamatan sebelum uba rampe atau sesaji dipersembahkan untuk orang banyak selalu terlebih dahulu diujubkan. Menurut Sholikin diujubkan berarti diijabkan. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual kepada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat. Dalam ujub tersebut dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. Karena kemudian ritual selamatan muslim-Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat A-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab mauled atau mannaqib dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut. (Sholikin;2009;21).
Slametan sebenarnya juga sebuah ritual sembahyang untuk memohon berkah. Bagi penganut yang taat, muslim ortodok, pemujaan nenek moyang tidak penting karena peranan nenek moyang yang bersifat sampingan, mereka hanya perantara Tuhan, bukan sumber keberkatan itu sendiri. Memang istilah perantara ini amat abstrak dan kadang-kadang sulit dipahami. Sembahyang memiliki kekuatan yang lebih besar karena langsung berhubungan dengan Tuhan; selain itu bahsa Arab adalah bahasa Tuhan.(Endra’2013;110).
Dijelaskan pula bahwa sebaliknya orang Jawa penganut mistisisme menganggap ungkapan pemujaan itu sendiri sebagai doa, bahkan mengacunya dengan bahasa Jawa untuk doa yaitu donga, yang dipertentangkan dengan upacara sembahyang, dimana istilah yang dipinjam dari bahsa Arab, du’a, ada didalamnya. Pokok dari penggunaan ini adalah untuk menekankan kesinambungan tematis kedua bagian itu. Doa dalam bahasa Arab biasanya du’a slamet, jelas secara tematis terkait dengan ungkapan pemujaan, meskipun sangat sedikit orang yang mengetahui makna terjemahannya. Selain itu juga terlihat bahwa kata-kata dalam bahasa Arab mengakhiri rangkaian keseluruhan sehingga ia membentuk kesatuan;ada salam pembukaan dalam bahasa Arab, kemudian sambutan dalam bahasa Jawa lalu doa.
Kadang ada sebuah pemikiran dalam peristiwa yang banyak terjadi dalam pelaksanaan doa. Karena doa adalah ungkapan sebuah pengharapan jika menggunakan bahasa yang tidak dimengerti bagaimana kualitas dari kontak batin tersebut. Namun manusia Jawa tidak banyak mempersoalkan tentang masalah tersebut dan dianggap sebuah ke-sinergian dalam menjalankan sebuah ibadah. Jika bahasa luar (Arab) dianggap sebagai pemantapan maka bahasa ibu (Jawa) dianggap sebagai sebuah kekuatan.
Cara-cara berdoa manusia dari dulu sehingga sekarang pun selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu mengucapkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya keatas dan kadang-kadang dengan mendongakkan kepala keatas atau seolah-olah siap menerima sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal dilangit.
Doa-doa yang diselenggarakan dalam acara selamatan merupakan upaya untuk menjamin kesinambungan yang mulus. Dalam pelaksanaannya seluruh yang hadir akan memberikan andil atau sumbangsih yang sama bagi kekuatan spiritual pada peristiwa tersebut. Oleh karena itu slametan berfungsi sebagi hubungan sosial yang harmonis yang diistilahkan rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah dari Tuhan atau para leluhur.
Suwardi menjelaskan bahwa dalam slametan ada banyak ungkapan yang dimaksud dan keiinginan. Tuan rumah tidak semata-mata menyelenggarakan slametan melainkan juga untuk melangsungkan niat (ajat), suatu niat yang sudah ada sebelum tamu-tamu (saksi) hadir. Seluruh kejadian dalam kenyataan dapat mengacu kepada kata ajat. Menurut definisi karena maksud dan tindakan menjadi satu dalam slametan, maka kata-kata diucapkan adalah mandi (ampuh;berbisa), efektif dan akibat yang diharapkan dari slametan merupakan separuh dari proses. Hasil yang diperoleh tak hanya dimohonkan (seperti ungkapan “Berikan kami makan hari ini”) tetapi diantisipasi (agak menyerupai “ Engkau datang maka jadilah”) dalam bentuk gramatika khusus dalam ucapan slametan (misalnya dikabulna, dipangana).
Dalam bahasa Osing digunakan kata ngabulaken yang beararti “semoga menjadi kenyataan”. Ucapan ini bernada setengah memohon/setengah menuntut. Selain itu ucapan ini juga meninggalkan identitas yang kabur mengenai siapa yang menjadi penyebab, karena bentuk kata kerja ini dapat berarti seorang membawa sesuatu bagi dirinya sendiri atau seseorang mendapatkan sesuatu dari orang lain (tamu yang hadir, Tuhan, nenek moyang). (Suwardi;2013;113). Seluruh niat slametan, sebenarnya menuju pada ranah hidup abadi. Hidup abadi adalah suasana di alam hidup setelah mati. Alam ini yang mempesona pelaku, karena ada nuansa keabadian. Dunia abadi (kelanggengan) memang selalu misterius. Melalui selamatan orang Jawa menaruh harap agar kelak dapat hidup damai (hayuning bawana) setelah mati.
Oleh karena itu, slametan berfungsi menunjukkan komunitas harmonis yang dikenal dengan nama rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah pada dewa, arwah dan leluhur.
Dibawah ini adalah salah satu contoh doa yang dipakai selamatan yang tertulis dalam Puja-puji Jawi dari BRAy. Suryodiningrat yang ditulis oleh Prof. Dr. RM. Wisnoe Wardhana.
Sesaji Lan Puji Kawilujengan
Kula ngedalaken sekul suci, ulam sari
bumbu lembaran ngeteraken rejeki
ganjaraning Ingkang Paring Gesang
kula caos sesaji dhateng para leluhur
ingkang sampun sumare
ingkang cikal bakal dhusun ngriki
Kula caos sedhekah dhahar
katur Bapa Adam Ibu Kawa
bumi langit, Gusti Panutan
danyang lan bahureksa ing dhusun ngriki
ingkang wonten ing keblat papat kalima pancer
ingkang celak tanpa senggolan
tebih tanpa wangenan
ingkang katingal lan ingkang mboten katingal
ingkang kopen lan ingkang mboten kopen
ingkang dhateng kutu-kutu walang ataga
Mugi kabuktiya kaluwarga
sempuluran sapangisore, sapendhuwure.
__________________
*) Tulus S atau Tulus Setiyadi, S.T.P. adalah alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Kegemarannya mempelajari budaya dan sastra ditekuni sudah sejak lama. Banyak bergabung dibeberapa sanggar kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Sering mengisi acara sastra ataupun budaya, baik di televisi, radio, paguyuban/sanggar, perguruan Budaya Jawa di Hotel Lorin Solo, kongres Bahasa Jawa di Hotel Marriot Surabaya dan Hotel Garuda Jogjakarta, serta seminar ataupun sarasehan. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa. Karya-karyanya dalam bentuk buku sudah puluhan judul dan beredar di masyarakat, baik di Indonesia maupun luar negeri. Juga belasan karya antologi bersama. Paguyuban/sanggar yang diikutinya antara lain; Pesaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani), Paguyuban Retna Dumilah (bidang kebudayaan), Paguyuban Pamarsudi Kasusastran Jawi Sedyatama, Sanggar Sastra Triwidha, Sembilan Mutiara (buku dan kesusastraan), Majelis Sastra Madiun, dll. Adapun buku-buku karyanya sebagai berikut; Bangsa Pemuja Iblis (antologi puisi), Surat Kerinduan, (antologi puisi), Sangkrah (antologi geguritan lan cerkak), Sang Guru (antologi cerkak), Kidung sukma Asmara (antologi geguritan), Daya Katresnan (antologi geguritan), Kawruh Urip Luhur Ngabekti (antologi geguritan), Serat Cipta Rasa (antologi geguritan mawa aksara Jawa). Narakisma mbedhah jagade kasusastran (antologi geguritan). Dongeng Kancil Kanggo Bocah (dongeng), Puspa Tunjung Taruna (esai), Pendekatan Nilai-Nilai Filosofi Dalam Karya Sastra Jawa (esai), Kembar Mayang (esai), Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa- Sumber Kearifan Lokal (esai), Ki ageng Sela Dan Ajarannya; Pendidikan Nilai Moral Dan Pembentukan Karakter (esai); Semar; Sebuah simbolisasi, Filosofi Dan Mistik Kejawen (esai). Makna Simbol Selamatan Kematian pada masyarakat Jawa (esai). Menelusuri Jejak Tradisi Membangun Jatidiri (esai). Uran-uran katresnan (novel). Keladuk Manis ing Salumahe Sambilata (novel). Juminem…dodolan tempe? (novel). Udan ing wanci ketiga (novel). Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis (novel), Gogroke Reroncen Kembang Garing (novel), Rumpile Jurang Katresnan (novel). Klelep ing Samodra Rasa (novel). Langit Mendhung Sajroning Pangangen (novel). Bersama Pak Tulus Ayo Belajar (motivasi). Aris (kumpulan cerkak). Sedangkan antologi bersama lainnya, seperti dibawah ini’; Antologi bersama; antologi Mangkubumen Sembilan Enam, Bulan Tuhan, Pelacur, Epifani Serpihan Duka Bangsa, Kemilau Mutiara Januari, Merangkai Damai, Pengembaraan Burung, Bunga Putra Bangsa, Indonesia di Titik 13 dll. Juga antologi cerkak mengeti HUT ke-35 Sanggar Triwida “Ngrembuyung”. Antologi cerpen “Negeri Kertas”. Antologi Geguritan Dinas kebudayaan Prov,DIY, Antologi geguritan “Sakwise Ismet lan Suparta Brata” Balai Bahasa Jatim, Antologi geguritan “Gebyar Kasusastran” Balai Bahasa Jatim. Antologi geguritan “Sor bumi sor kukusan.”
http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar